05 Desember 2003

Nasib Petani Gabah

Nasib petani padi kita tak pernah baik. Mereka selalu saja dihadapkan pada kondisi yang menekan dan menghimpit. Bahkan panen raya, yang semestinya menjadi kesempatan bagi mereka menangguk keuntungan ekonomis, justru menjadi saat yang mengiris dan menyesakkan. Setiap panen raya tiba, harga gabah selalu saja terpuruk.

Dalam konteks itu, instrumen kebijakan yang disiapkan pemerintah selalu terbukti tidak ampuh. Inpres No 9/2003 yang dikeluarkan pada awal tahun ini, misalnya, hanya indah di atas kertas. Inpres tersebut menyatakan bahwa harga pembelian pemerintah (HPP) dipatok Rp 1.725/kg untuk gabah kering giling (GKG) dan Rp 1.320/kg untuk gabah kering panen (GKP).

Namun pada musim panen April-Mei lalu, harga gabah berkualitas seadanya (kadar air di atas 20 persen, kadar kotor di atas 10 persen) tidak sampai Rp 1.000/kg. Walhasil, kebijakan perberasan yang tertuang dalam Inpres No 9/2003 ini melenceng dari sasaran. Alih-alih menikmati untung, petani pun banyak yang dibuat pusing tujuh keliling karena biaya produksi yang telanjur mereka keluarkan nyaris tak tertutup.

Panen raya mendatang ini pun kemungkinan tetap menjadi siklus yang menyengsarakan petani. Bahkan belum apa-apa, harga beras kini sudah tertekan -- bahkan cenderung turun. Badan Pusat Statistik (BPS) saja sudah mencatat, selama November lalu harga beras tercatat menurun. Itu pula yang membuat inflasi selama November relatif tetap rendah.

Kenapa harga beras kini cenderung turun, sementara panen raya belum lagi tiba? Ternyata itu karena beras impor telanjur membanjiri pasar. Justru itu pula, saat panen raya tiba nanti, harga gabah di tingkat petani pasti jeblok tak tertahankan.

Beras impor memang menjadi momok yang setiap saat menekan harga komoditas itu di dalam negeri. Maklum saja karena arus beras impor sulit sekali dibendung. Impor beras saat ini hanya berdasarkan nomor pengenal importir khusus (NPIK). Jadi, tak ada izin spesifik yang harus dikantungi importir. Mereka cukup sekadar mendaftar: bahwa mereka mengimpor beras.

Kalau saja stok beras di dalam negeri dalam kondisi tipis, arus masuk beras impor ini tidak masalah -- bahkan merupakan kebutuhan dalam rangka menjaga harga bahan pokok tersebut tidak melambung tinggi. Tetapi ketika stok beras nasional relatif memadai seperti saat ini, terus panen raya padi juga tak lama lagi dijelang, impor beras tentu terasa mengherankan.

Dalam konteks itu pula kita bisa memahami pernyataan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (KHTI) Siswono Yudhohusodo yang mencurigai upaya terselubung dan sistematis di balik arus deras impor beras sekarang ini. Upaya tersebut, katanya, jelas merujuk pada penghancuran harga gabah di tingkat petani.

Kalau saja asumsi itu benar, kita sungguh dibuat terpana karena Perum Bulog pun ikut andil dalam mengalirkan beras impor di saat stok memadai dan panen raya segera tiba ini. Kita terpana, karena selaku instansi pemerintah mestinya Bulog menyadari betul bahwa impor beras saat ini sungguh tidak produktif bagi kepentingan nasional.

Di samping, menekan harga gabah yang menjadi tumpuan harapan petani, langkah itu secara tidak langsung juga memberi kesan seolah Bulog tidak percaya terhadap sasaran yang dibuat Deptan menyangkut produksi gabah. Padahal Deptan sendiri sudah berulang kali berupaya meyakinkan bahwa sasaran produksi gabah pada tahun depan sebesar 53 juta ton hampir pasti bisa tercapai.

Tapi kenyataan itu juga menorehkan kenyataan lain: koordinasi di jajaran pemerintahan memang amat lemah. Egoisme sektoral, dalam konteks ini, mungkin menjadi salah satu sebab. Mungkin juga faktor patronase berbau politis turut pula berbicara. Yang pasti, menyadari betapa koordinasi antarjajaran pemerintahan ini begitu lemah, kita tak bisa lain kecuali harus mengelus dada.

Kita semakin trenyuh mengingat nasib petani gabah kita, karena pemerintah sendiri terkesan belum menemukan formula kegijakan yang benar-benar jitu dan handal. Memang, dalam rangka mengamankan harga gabah di tingkat petani, Menperindag sudah sampai pada keputusan untuk segera pengaturan impor dan menaikkan bea masuk beras pada musim panen mendatang.

Tetapi, seperti pendapat kalangan analis, kebijakan tersebut sulit diharapkan benar-benar efektif. Apa mau dikata: beras impor telanjur membanjir. Bahkan, sangat boleh jadi, arus impor beras saat ini justru merupakan antisipasi pengusaha terhadap langkah pemerintah menaikkan bea masuk dan mengatur impor.

Jadi, nasib petani gabah kita entah kapan bisa membaik.***
Jakarta, 05 Desember 2003

Tidak ada komentar: