21 November 2003

Pembenahan di Tubuh PTKA

Pernyataan Menhub Agum Gumelar, bahwa calo tiket kereta api sulit diperangi, seharusnya tidak menjadi alasan pembenaran bagi manajemen PT Kereta Api (PTKA) untuk tidak berbenah secara mendasar dan merumuskan konsep layanan terbaik. Mungkin benar bahwa praktik percaloan tiket kereta api di tengah lonjakan calon penumpang seperti saat ini sulit diperangi. Tetapi, barangkali, itu lebih karena konsep dan mekanisme layanan pihak PTKA masih amburadul.

Kita menghargai langkah-langkah antisipasi manajemen PTKA dalam menghadapi arus musik Lebaran ini -- antara lain membuka penjualan tiket sejak jauh hari. Tetapi kita juga harus jujur mengatakan bahwa itu sama sekali tidak menjawab masalah: karena banyak calon penumpang telantar dan teraniaya secara fisik, psikis, dan ekonomis. Mereka harus berjam-jam -- bahkan sampai begadang di stasiun segala -- sekadar untuk bisa mendapatkan beberapa lembar tiket. Padahal sama sekali tidak ada jaminan tentang itu -- antara lain karena tiket telanjur diborong calo-calo.

Pada musim mudik Lebaran seperti sekarang ini, permintaan akan jasa angkutan kereta api -- seperti juga dialami moda angkutan lain -- memang meningkat drastis. Namun itu sungguh tak bijak dijadikan pembelaan atas susah atau bahkan gagalnya sekian banyak calon penumpang memeroleh tiket. Bagaimanapun, kenyataan itu lebih menunjukkan bahwa antisipasi manajemen PTKA dalam menghadapi lonjakan calon penumpang dalam rangka mudik Lebaran ini masih kedodoran.

Dalam konteks ini pula, kita sependapat dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI): bahwa langkah-langkah antisipasi yang dilakukan manajemen PTKA masih membuka peluang bagi praktik percaloan. Sistem penjualan tiket yang dilakukan on-line, misalnya, memang menjanjikan kemudahan dan kenyamanan bagi calon penumpang. Tapi karena dilakukan tertutup, tindak penyimpangan oleh oknum orang dalam PTKA sendiri jelas terbuka. Mereka bisa bermain mata dengan pihak luar hingga kemudian praktik percaloan tiket pun merebak. Sistem penjualan tiket secara on-line, karena itu, menjadi tak benar-benar efektif.

Begitu juga penjualan tiket di sejumlah loket yang digelar sejak jauh hari. Sedikit atau banyak, langkah tersebut justru membukakan kesempatan bagi mereka yang memiliki naluri menjadi calo.

Justru itu, kita menangkap kesan bahwa antisipasi manajemen PTKA dalam menghadapi arus mudik Lebaran ini cenderung setengah hati. Mereka sepertinya tidak belajar pada pengalaman serupa di tahun-tahun lalu. Mereka juga seolah tak bercermin pada layanan yang digelar moda-moda angkutan lain, khususnya maskapai penerbangan dan jasa angkutan penumpang bus yang relatif tak mengundang keluh-kesah atau gerutuan konsumen.

Seharusnya manajemen PTKA punya pendirian begini: jika jajaran maskapai penerbangan atau perusahaan otobus bisa relatif mulus memberikan layanan kepada calon penumpang, kenapa PTKA tidak? Bukankah berbagai maskapai penerbangan maupun perusahaan otobus juga menghadapi lonjakan permintaan pengguna jasa?

Mungkin benar, praktik percaloan relatif tak banyak menyusahkan calon penumpang pesawat terbang ataupun bus karena perusahaan-perusahaan bersangkutan mendesentralisasikan penjualan tiket. Dengan itu, calon penumpang tak harus menghambur dan menumpuk di titik tertentu. Ditambah penerapan mekanisme pemesanan jauh di muka, ruang gerak bagi praktik percaloan pun relatif tertutup.

Kenapa manajemen PTKA tak menerapkan mekanisme serupa? Kenapa penjualan tiket ini harus terpusat di tangan mereka alias tidak disebarkan ke pihak-pihak ketiga? Jujur saja, pertanyaan-pertanyaan senada itu justru mengundang kecurigaan bahwa pihak PTKA memang tak sungguh-sungguh berkeinginan menggelar layanan penjualan tiket yang mudah dan nyaman. Terlebih bila dikaitkan dengan kenyataan bahwa dulu PTKA pun sebenarnya sudah mendesentralisasikan penjualan tiket kepada kalangan biro perjalanan -- mirip apa yang kini diterapkan jajaran maskapai penerbangan dan perusahaan otobus. Tapi, entah kenapa, mekanisme penjualan tiket itu belakangan menjadi tersentralisasi lagi di tangan PTKA.

Ataukah PTKA sendiri menaruh kepentingan tertentu di balik itu? Paling tidak kepentingan ekonomis, yakni supaya bisa bermain mata dengan para calo? Secara kelembagaan, jelas itu tak mungkin. Tapi boleh jadi, itu menjadi kepentingan oknum-oknum di dalam tubuh PTKA.

Karena itu, sekali lagi, manajemen PTKA amat beralasan melakukan pembenahan mendasar mengenai sistem dan mekanisme penjualan tiket ini. Untuk itu, mereka harus membuang semangat pembenahan bersipat setengah hati. PTKA sudah saatnya tampil sebagai perusahaan yang sehat, bersih, nyaman, dan mampu memberikan layanan optimal bagi konsumen. Toh konsumen selama ini pun sudah memberikan ongkos yang tak terbilang murah-meriah.***
Jakarta, 21 November

Tidak ada komentar: