11 November 2003

BUMN Rugi Tanpa Akhir?

Kerugian yang diderita empat badan usaha milik negara (BUMN) -- PT Dirgantara Indonesia, PT Kereta Api, PT Pupuk Sriwijaya (Pusri), dan PT Taspen -- sungguh mengejutkan, sekaligus menambah buram potret BUMN kita. Ketika kita masih terbengong-bengong oleh skandal letter of credit sebesar Rp 1,7 triliun yang melanda Bank BNI, akhir pekan lalu tiba-tiba terkuak kenyataan lain: keempat BUMN tadi menderita kerugian demikian besar. Dalam lima tahun terakhir (1998-2002), keempat BUMN itu total merugi sebesar Rp 17,09 triliun.

Kita sungguh terkejut karena angka itu bukan merupakan potensi kerugian (potential loss), melainkan sudah menjadi kerugian nyata. Artinya, kerugian memang sudah benar-benar tertoreh (actual loss) -- dan karena itu harus ditanggung dengan segala konsekuensinya. Padahal di samping kerugian nyata ini, keempat BUMN ini juga masih menanggung potential loss senilai Rp 2,65 triliun.

Kita lebih terkejut lagi karena actual loss sebenarnya bisa dihindari kalau saja masing-masing BUMN bersangkutan benar-benar menerapkan praktik terbaik dalam mengelola usaha (good corporate governance). Justru itu, kalau saja kerugian besar ini tertoreh sebagai konsekuensi fungsi sosial yang diemban masing-masing BUMN, kita masih bisa maklum. Tapi fakta di lapangan justru menampik itu: keempat BUMN -- seperti juga kebanyakan BUMN lain -- boleh dikata sudah tak lagi mengemban fungsi sosial ini.

Tengok saja PT Kereta Api, misalnya. Sebagian terbesar rangkaian kereta api yang mereka gelar sekarang ini lebih ditujukan bagi masyarakat berduit. Istilah kelas tiket pun jelas sekali menunjukkan semangat itu: kelas bisnis dan kelas eksekutif.

Bagaimana dengan kereta api kelas ekonomi? Jujur saja, PT Kereta Api sudah sangat sedikit menggelar jasa kereta api yang mengemban fungsi sosial itu. Meski menerima dana kompensasi (public service obligation), pihak manajemen memerlakukan kereta api kelas ekonomi ini dengan sikap ogah-ogahan.

Justru itu, kerugian yang diderita Kerata Api selama lima tahun terakhir -- sebesar Rp 2,9 triliun (actual loss) plus Rp 1,14 triliun (potential loss) -- bukan sebagai konsekuensi menggelar layanan yang berfungsi sosial (kereta api ekonomi). Kerugian itu lebih karena faktor manajemen yang tidak profesional.

Memang, menurut hasil audit, kerugian itu antara lain terkait dengan tingginya angka penumpang tak bertiket -- terutama di kelas ekonomi. Tapi, bagaimanapun, persoalan teknis semacam itu bisa dihindari atau dicegah bila asas manajemen modern benar-benar konsekuen dan konsisten diterapkan. Justru itu, lagi-lagi persoalan pun bermuara pada sikap-tindak manajemen yang tidak profesional sesuai tuntutan asas good corporate governance.

Begitu juga dengan PT Pusri: kerugian tertoreh karena inefisiensi. Kalau ditelisik, inefisiensi itu sendiri menggejala karena pihak manajemen gagal mengantisipasi perubahan kebijakan pemerintah. Ketika pemerintah mencabut subsidi pupuk, dan tata biaga komoditas tersebut dibebaskan, manajemen PT Pusri kelabakan oleh kenyataan yang mereka hadapi: permintaan pasar menurun. Strategi mereka menyiasati kenyataan itu pun ternyata malah melahirkan banyak piutang tak tertagih alias macet.

Tampaknya, PT Pusri telanjur keenakan oleh pola lama yang mengondisikan perusahaan menggeliat bukan karena dinamika pasar, melainkan lebih karena kebijakan pemerintah berupa kucuran subsidi produk dan tata niaga komoditas yang mereka hasilkan. Asas good corporate governance pun, notabene demikian gencar didengungkan dalam beberapa tahun terakhir, nyaris tak memiliki makna bagi kiprah bisnis PT Pusri ini. Sikap mereka yang telanjur keenakan oleh kebijakan pemerintah membuat asas good corporate governance hanya menjadi slogan.

Tapi mungkin kerugian yang tertoreh ini tak sepenuhnya merupakan kesalahan atau kelemahan pihak manajemen BUMN. Boleh jadi, pemerintah juga punya andil. Sedikit banyak, sikap-tindak atau kebijakan pemerintah sendiri seolah mengondisikan BUMN sulit bisa bergerak profesional. Penunjukan direksi, misalnya, hampir selalu beraroma KKN. Kepentingan tertentu di luar konteks bisnis BUMN sendiri acap lebih menentukan dalam pemilihan direksi ini ketimbang aspek kualitatif berupa kecakapan atau profesionalisme.

Lalu bagaimana? Tak bisa lain, mengharapkan BUMN benar-benar profesional dan konsekuen menerapkan asas good corporate governance jelas menuntut perubahan sikap mental secara mendasar: di kalangan direksi BUMN sendiri maupun di jajaran pengambil kebijakan di pemerintahan. Cerita atau laporan tentang BUMN menanggung rugi besar tak akan pernah berakhir selama soal sikap mental ini tak kunjung berubah. Padahal kerugian BUMN adalah juga kerugian publik: karena sedikit banyak itu langsung berimplikasi terhadap keuangan negara.

Jadi, haruskah kerugian BUMN ini tak pernah berakhir?***
Jakarta, 11 November 2003

Tidak ada komentar: