07 November 2003

Net Importer Minyak

Dulu, setiap kali harga minyak mentah di pasar internasional melonjak di atas patokan dalam APBN, kita -- khususnya pemerintah -- bisa bersorak gembira. Ya, karena lonjakan itu membuat kita memeroleh rezeki nomplok (windfall profit) berupa selisih harga antara harga patokan dalam APBN dan harga yang terbentuk di pasar internasional. Makin banyak minyak yang kita ekspor, makin besar pula rezeki nomplok yang kita nikmati.

Tapi sekarang tidak lagi. Kenaikan harga minyak mentah yang jauh melampaui patokan dalam APBN justru terasa menyesakkan. Seperti sekarang ini: harga mentah di pasar internasional yang bertahan di atas 27 dollar AS per barel membuat pemerintah bisa menangguk windfall profit sebesar Rp 7 triliun. Tapi di lain pihak, kenaikan harga minyak mentah ini justru menorehkan tambahan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp 11 triliun.

Walhasil, pemerintah pun harus menombok APBN sebesar Rp 4 triliun untuk menambah subsidi BBM. Apa boleh buat karena subsidi yang dipatok dalam APBN hanya sekitar Rp 14 triliun, gara-gara harga minyak mentah naik jauh di atas patokan APBN, membengkak menjadi sekitar Rp 21 triliun.

Kenyataan itu bisa terjadi karena di samping mengekspor, kini kita juga mengimpor minyak mentah -- bahkan plus BBM -- dengan volume yang hampir setara dengan ekspor. Dalam ungkan keren, kita sekarang ini sebenarnya sudah menjadi net importer minyak.

Dirjen Migas Iin Arifin Takhyan membeberkan, setiap tahun kita kini rata-rata mengimpor minyak mentah -- untuk diolah di kilang-kilang Pertamina -- sebanyak 250.000 barrel per hari. Di sisi lain, impor BBM dalam setahun sekitar 150.000 hingga 250.000 barel per hari sesuai kebutuhan pasar dalam negeri.

Kebutuhan akan BBM sendiri di dalam negeri terus meningkat. Padahal cadangan minyak kita sudah mulai berkurang -- hingga kilang-kilang di dalam negeri yang total berkapasitas 1 juta barel minyak pun hanya terpenuhi rata-rata 750.000 barel per hari. Itu pula yang memaksa pemerintah kini mengimpor minyak mentah rata-rata sebanyak 250.000 barel per hari.

Untuk mengurangi jumlah impor, produksi minyak di dalam negeri jelas harus digenjot. Pemerintah sendiri, dalam kaitan ini, terus berupaya mengundang investor agar tergerak melakukan eksplorasi dan eksploitasi guna mencari cadangan baru minyak di perut bumi kita.

Tapi itu tidak mudah. Itu bukan saja terkait dengan iklim investasi di dalam negeri -- notabene dewasa ini secara keseluruhan kurang menggairahkan kalangan pemilik modal --, melainkan juga terutama amat bergantung pada kenyataan bahwa kegiatan eksplorasi dan eksploitasi cadangan baru minyak ini membutuhkan waktu relatif lama.

Itu berarti, paling tidak dalam jangka pendek dan menengah kita masih sulit menekan impor minyak mentah. Terlebih lagi peningkatan konsumsi BBM di dalam negeri tampaknya sulit dibendung. Dengan kata lain, entah hingga berapa lama lagi -- atau jangan-jangan selamanya -- kita akan tetap menjadi net importer minyak.

Kesadaran tentang itu sungguh penting -- karena posisi kita sebagai net impoter minyak ini melahirkan implikasi tidak ringan terhadap beban keuangan negara. Dalam konteks ini, kita harus menyadari bahwa subsidi BBM sebenarnya makin tidak relevan. Seperti paparan di atas, dari segi anggaran negara, subsidi BBM sungguh tidak produktif.

Pemerintah sendiri, sebenarnya, sudah mulai mengurangi subsidi BBM ini sejak 1999 silam. Implikasinya, setahap demi setahap, harga BBM tak lagi terasa murah-meriah seperti di masa lalu. Bahkan, pada tahun anggaran mendatang, hanya tinggal minyak tanah yang masih memeroleh subsidi pemerintah ini. Itu pun spesifik diperuntukkan bagi kalangan rumah tangga dan usaha kecil menengah (UKM).

Langkah pengurangan subsidi ini tampaknya akan terus berlanjut sampai akhirnya -- sesuai UU Propenas -- tak lagi dikucurkan. Lalu, sebagai kompensasinya -- seperti sudah dilakukan selama tiga tahun terakhir -- dana subsidi BBM ini disalurkan ke sektor-sektor tertentu yang lebih mengusung fungsi manfaat bagi kehidupan masyarakat banyak, khususnya kalangan lapisan bawah.

Secara prinsip, kita setuju terhadap langkah pengurangan atau penghapusan subsidi BBM ini. Tapi kita perlu menekankan bahwa program kompensasi harus dibuat lebih terarah lagi. Melihat apa yang terjadi di lapangan selama ini, pelaksanaan program kompensasi subsidi BBM masih banyak melenceng alias tidak benar-benar tepat sasaran. Justru itu, program tersebut selama ini amat kental mengundang persepsi sebagai langkah yang menyengsarakan rakyat kecil.***
Jakarta, 07 November 2003

Tidak ada komentar: