02 November 2003

Evian Approach Kok Ditampik?

Beban utang pemerintah sudah demikian berat dan potensial menjadi jebakan utang (debt trap) di masa datang. Memang, sekarang ini risiko gagal bayar (default risk) utang pemerintah ini sudah menurun lumayan berarti. Bisa dipahami jika kepercayaan kalangan investor dalam maupun luar negeri terhadap kemampuan pemerintah mengelola utang pun membaik kembali. Karena itu pula, stabilisasi kurs rupiah sudah mulai bisa tercipta.

Di sisi lain, tingkat bunga juga terdorong turun signifikan. Sementara lembaga pemeringkat utang internasional seolah berlomba memerbaiki (upgrade) peringkat utang kita. Setelah Moody's, Standar & Poor's pun ikut-ikutan mendongkrak peringkat utang kita ini.

Penurunan default risk ini juga tercermin dalam penciutan cukup berarti rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) selama beberapa tahun terakhir. Jika tiga tahun lalu rasio utang Indonesia ini masih sekitar 100 persen, tahun ini angka itu sudah menurun menjadi sedikit di atas 70 persen PDB.

Jelas kenyataan yang menunjukkan bahwa default risk ini menurun bukan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya. Kenyataan itu adalah buah berbagai langkah yang diayunkan pemerintah. Sebut saja penataan ulang profil (reprofiling) obligasi yang jatuh tempo, pembelian kembali (buy back) obligasi, juga stabilisasi makro ekonomi.

Pemerintah sendiri menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan yang bersipat mengurangi risiko default dalam membayar utang yang jatuh tempo dalam waktu dekat ini masih akan digulirkan. Reprofiling obligasi, misalnya, ke depan ini dilakukan lagi -- khususnya, seperti kata Menkeu Boediono -- melalui mekanisme pasar, tidak lagi bilateral seperti selama ini.

Walhasil, paling tidak untuk dua tahun ke depan, pemerintah terhindar dari kewajiban membayar utang yang jatuh tempo dalam jumlah besar. Dampaknya juga lumayan: membantu meringankan beban keuangan negara di tengah kondisi pasca-IMF yang memaksa APBN harus dikuras banyak untuk membayar utang. Tahun depan, misalnya, dana APBN yang harus dialokasikan untuk membayar utang kepada IMF yang jatuh tempo ini bernilai sekitar 2 miliar dolar AS.

Tetapi kita tak boleh terlena dan lengah. Bisa-bisa default risk kelak benar-benar tak bisa kita hindari lagi -- karena beban utang sudah amat menggunung dan menjadi perangkap. Terus-terang, perangkap jebakan utang ini makin serius membayangi kita. Apa mau dikata, memang, karena langkah-langkah seperti reprofiling obligasi yang dilakukan pemerintah pada dasarnya tak lebih dari sekadar menggeser beban utang saat ini ke masa depan.

Jadi, default risk yang sudah bisa dihindari pemerintah sebenarnya adalah kelegaan semu -- karena sama sekali tidak mengurangi beban utang. Bahkan berbagai langkah yang ditempuh pemerintah untuk itu malah membuat utang di masa depan kian menggunung. Justru itu, jika tak awas, beban utang ini kelak benar-benar menjadi perangkap yang mematikan. Rasio utang terhadap PDB pun pasti membengkak lagi. Konsekuensi lebih jauh, kepercayaan dunia internasional terhadap ekonomi kita bisa benar-benar luntur. Ini niscaya melahirkan efek lanjutan yang sungguh mencemaskan karena bisa membuat ekonomi kita hancur.

Semangat itu pula yang disiratkan DPR, pekan lalu, dengan mendesak pemerintah agar mengupayakan fasilitas rescheduling utang ini kepada para kreditur. Memang, sebagai konsekuensi pengakhiran program kerja sama dengan IMF pada akhir tahun ini, kita tak bisa lagi berharap menikmati fasilitas rescheduling utang di forum Paris Club. Tetapi, amat kebetulan, akhir Oktober lalu Kelompok Delapan Negara Maju (G-8) menyepakati kebijakan baru yang disebut Evian Apprroach.

Kebijakan itu merujuk pada skema baru pengurangan beban utang bagi negara yang tidak tergolong miskin atau non-HIPIC (Heavily Indebted Poor Income Country). Melalui Evian Approach, negara debitur berkesempatan menegosiasikan utang luar negeri secara bilateral dengan negara kreditor.

Namun belum-belum seorang pejabat kita sudah menyatakan bahwa Indonesia tidak akan memanfaatkan fasilitas Evian Approach ini. Konon, itu karena sekarang ini kita masih mampu membayar utang.

Terus-terang, kita menilai pernyataan itu terkesan sombong dan angkuh. Pernyataan itu amat menyepelekan risiko kita terjebak beban utang di masa datang. Sekarang ini kita memang masih mampu membayar utang. Tapi, sekali lagi, pada tahun-tahun mendatang beban utang kita tidak makin berkurang.

Justru itu, mestinya kita arif memelajari berbagai kemungkinan dan peluang mengurangi beban utang ini -- termasuk menimbang Evian Approach. Sudah tak sepantasnya lagi kita mati-matian mematut diri menjadi a good boy dalam soal utang luar negeri ini. Bagaimanapun itu terlalu mewah dan menipu diri.***
Jakarta, 2 November 2003

Tidak ada komentar: