18 November 2003

Sanksi Gijzeling

Sanksi penyanderaan (gijzeling) yang diterapkan Ditjen Pajak sudah memakan korban dua wajib pajak. Entah kebetulan entah bukan, mereka masing-masing berkewarganegaraan Indonesia dan asing. Mereka terkena gijzeling karena tak kunjung menunjukkan itikad baik dalam membayar tunggakan pajak. Wajib pajak yang berkewarganegaraan Indonesia memiliki tunggakan pajak Rp 11,5 miliar, sementara wajib pajak yang warga asing Rp 45,7 miliar.

Sebelum ini, santer disebut-sebut bahwa mereka yang terancam dikenai sanksi gijzeling ini -- karena dinilai kurang kooperatif -- berjumlah delapan wajib pajak. Nilai tunggakan mereka, konon, total mencapai sekitar Rp 120 miliar. Tapi setelah sanksi gijzeling disosialisasikan dan aparat pajak sendiri melakukan pendekatan terakhir, konon pula, enam wajib pajak berubah kooperatif. Mereka bersedia membayar tunggakan pajak. Sementara dua wajib pajak lain, itu tadi: tak kunjung menunjukkan itikad baik sehingga terpaksa dikenai gijzeling.

Langkah Ditjen Pajak itu, tampaknya, telah melahirkan efek psikologis: kalangan wajib pajak jadi merasa miris. Mereka dibuat sadar: tak boleh main-main dengan kewajiban pajak. Dirjen Pajak Hadi Purnomo sendiri menyebutkan bahwa penerapan sanksi gijzeling membuat banyak penunggak pajak -- meski tak tergolong kelompok sasaran sanksi itu -- tergerak melunasi kewajiban mereka.

Tetapi, sebenarnya, tak setiap wajib pajak bisa terkena sanksi gijzeling ini. Hanya mereka yang bandel atau sama sekali tak menunjukkan itikad baik membayar tunggakan pajak yang bisa terkena sanksi tersebut. Lagi pula, tunggakan pajak yang bisa dikenai gijzeling hanya bernilai Rp 100 juta ke atas. Bagi mereka yang memiliki tunggakan di bawah angka itu, untuk sementara ini, sebenarnya tak beralasan merasa miris terkena gijzeling.

Kendati demikian, efek positif penerapan sanksi gijzeling ini -- kalangan wajib pajak jadi merasa miris bermain-main dengan kewajiban pajak -- sungguh positif. Itu menerbitkan harapan ke arah peningkatan penerimaan pajak. Bagaimanapun, rasa miris tadi amat mungkin membuat tingkat kepatuhan wajib pajak jadi meningkat. Justru itu, tax ratio kita pun bisa diharapkan terdongkrak ke tingkat yang lebih baik.

Kenyataan seperti itu, pada gilirannya, amat positif. Seperti telah berkali-kali dibahas di ruangan ini, peningkatan kepatuhan wajib pajak sungguh amat strategis bagi kemandirian pembiayaan penyelenggaraan negara kita. Untuk saat sekarang saja, peningkatan kepatuhan wajib pajak ini niscaya bisa membuat target penerimaan pajak sebesar Rp 210,79 triliun bisa lebih mudah tercapai.

Karena itu, bagi kita, penerapan sanksi gijzeling oleh Ditjen Pajak yang menimbulkan efek psikologis di kalangan wajib pajak ini sungguh positif. Kita tak melihat efek psikologis berupa perasaan miris bermain-main dengan kewajiban pajak itu sebagai sesuatu yang tidak produktif dan tidak konstruktif. Meski barangkali di luar sasaran atau tujuan utama penerapan sanksi gijzeling sendiri, fenomena itu justru harus kita pelihara karena jelas mengusung fungsi deterrent effect: memupus kemungkinan wajib pajak coba-coba tidak melunasi kewajiban pajak.

Atas dasar itu, kita tak habis mengerti oleh pernyataan Menkeu Boediono yang terkesan gerah oleh langkah Ditjen Pajak menerapkan sanksi gijzeling ini. Pernyataan tersebut menumbuhkan spekulasi bahwa Menkeu tak rela ancaman bagi wajib pajak tak beritikad baik itu serius dilaksanakan. Dalam kaitan itu, barangkali Menkeu memang tak pernah memerkirakan bahwa ancaman sanksi gijzeling ternyata menimbulkan deterrent effect di kalangan wajib pajak berupa perasaan miris jika menunggak pajak.

Kita sendiri, sejauh ini, tak melihat aparat Ditjen Pajak memanfaatkan sanksi gijzeling ini sebagai alat untuk menakut-nakuti wajib pajak. Apa yang mereka lakukan tampaknya masih dalam koridor yang digariskan: menyodorkan sanksi gijzeling sebagai faktor pemaksa bagi wajib pajak tak kooperatif untuk melunasi tunggakan pajak mereka yang bernilai minimal Rp 100 juta.

Bahwa langkah itu ternyata menimbulkan efek takut di kalangan wajib pajak secara keseluruhan, barangkali itu di luar dugaan. Tetapi kalaupun sengaja dilakukan -- sepanjang masih dalam koridor yang tidak berlebihan menurut etika ataupun tertib hukum --, mengampanyekan sanksi gijzeling untuk menumbuhkan rasa takut di kalangan wajib pajak barangkali juga tidak masalah.

Bagi sebuah negeri yang memiliki tax ratio rendah seperti kita ini, sengaja mengondisikan deterrent effec bagi kalangan wajib pajak sebenarnya bahkan merupakan kebutuhan. Terlebih jika mengingat bahwa utang kita sekarang ini sudah sebatas leher, sehingga penerimaan pajak makin menjadi andalan bagi pembiayaan penyelenggaraan negara -- termasuk untuk mencicil utang.

Jadi, kenapa risau jika wajib pajak kemudian bersikap takut menunggak pajak?***
Jakarta, 18 November 2003

Tidak ada komentar: