02 September 2003

Moral Aparat Pajak

Menuntut tax ratio mencapai level relatif tinggi -- katakan saja 20 persen sebagaimana di negara-negara tetangga -- memang sah-sah saja. Bahkan dalam konteks negara modern, tuntutan itu sungguh logis: karena tax ratio merupakan tolok ukur atau cerminan tentang partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara. Makin tinggi tax ratio, berarti makin tinggi pula partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara.

Tetapi tuntutan itu menjadi terasa tidak adil kalau berbagai peluang yang memungkinkan penerimaan pajak bisa meningkat drastis justru tak bisa disentuh. Nalar kita langsung terusik: bagaimana mungkin tax ratio bisa meningkat signifikan kalau banyak potensi penerimaan pajak tak bisa digali karena memang akses untuk itu tertutup rapat.

Dirjen Pajak Hadi Purnomo sendiri membeberkan bahwa paling tidak terdapat tujuh akses yang sekarang ini tak bisa ditembus ketentuan perpajakan ini. Dia menyebut bahwa akses yang kini tak bisa ditembus itu, antara lain, pemilik deposito, pemegang kartu kredit, juga penerima kredit perbankan. Aparat pajak tak bisa berbuat apa-apa menghadapi kenyataan bahwa kewajiban pajak orang-orang terkait dengan pemilikan kartu kredit atau deposito -- juga tabungan dan giro -- sekarang ini masih banyak lolos. Apa boleh buat karena ketentuan UU Perbankan tak membukakan akses bagi aparat pajak untuk menggali potensi pajak yang tercecer itu.

Entah berapa besar nilai potensi pajak yang tercecer atau bahkan tak tersentuh ini. Yang pasti, Hadi menyebutkan bahwa kalau saja ketujuh akses tadi bisa ditembus, dana puluhan triliun rupiah bisa dijala sebagai penerimaan pajak.

Peluang seperti itu jelas sungguh amat berarti -- terlebih di tengah prognosa bahwa penerimaan pajak tahun ini menurun akibat kondisi makro yang tak kondusif bagi pemungutan pajak. Dengan bisa menembus akses-akses yang selama ini tertutup rapat, tax ratio pun pasti terdongkrak. Di satu sisi, itu membuat penerimaan pajak jadi jauh lebih besar ketimbang rata-rata selama ini dengan angka tax ratio yang hanya 13-an persen. Di sisi lain, peningkatan tax ratio juga membuat perpajakan jadi lebih kuat mengemban fungsi keadilan.

Karena itu, kita mendukung pendirian mengenai perlunya akses-akses yang selama ini tertutup bagi perpajakan ini dibuka. Klausul kerahasiaan bank yang termuat dalam UU Perbankan, misalnya, amat beralasan dihapuskan. Patut kita akui, klausul tersebut selama ini membuat begitu banyak potensi pajak tak bisa digali.

Memang, penghapusan klausul kerahasiaan bank ini mungkin menjadi disinsentif bagi industri perbankan nasional. Boleh jadi, itu membuat orang menjadi enggan menaruh dana di bank -- karena setiap saat identitas diri ataupun data tentang simpanan kita di bank bisa diobok-obok pihak-pihak berwenang yang memiliki kepentingan.

Tapi, agaknya, keengganan itu tak bakal berlangsung lama. Jika sudah tak ada pilihan lain, lambat-laun mungkin kita bisa menerima kenyataan bahwa industri perbankan kita tak lagi menjamin kerahasiaan nasabah. Terlebih jika dikaitkan dengan tuntutan atau bahkan tekanan dunia internasional mengenai praktik pencucian uang (money laundering), tampaknya kita harus menyadari bahwa klausul kerahasiaan bank sekarang ini kian usang dan tak lagi bisa absolut.

Dalam konteks itu pula, kita menghargai kesepakatan pemerintah dan DPR melakukan kajian mengenai penghapusan klausul kerahasiaan bank dalam UU Perbankan ini. Mudah-mudahan langkah tersebut tak memakan waktu terlalu lama -- meski di lain pihak kita juga menyadari bahwa DPR maupun pemerintah memiliki banyak agenda lain yang sudah mendesak diselesaikan. Kita perlu menekankan bahwa di tengah tuntutan agar tax ratio naik signifikan, amandemen UU Perbankan -- antara lain -- serta-merta menjadi kebutuhan tak terhindarkan.

Selain pembukaan akses-akses yang selama ini tertutup rapat, peningkatan tax ratio juga menuntut prasyarat lain: pembenahan sikap-tindak jajaran aparat pajak sendiri. Tanpa itu, pembukaan akses-akses yang selama ini tertutup hanya akan menjadi lahan subur bagi oknum-oknum aparat pajak untuk memperkaya diri sendiri. Justru itu, penerimaan pajak pun tetap tak optimal sesuai potensi nyata yang seharusnya bisa digali.

Sejauh ini, sikap-tindak jajaran aparat pajak memang masih banyak mengundang keluhan. Tak kurang dari Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) yang merasa perlu menggarisbawahi soal ini. Menurut IKPI, banyak oknum perpajakan yang belum menghayati tugas mewujudkan kemakmuran serta kemajuan bangsa, negara, dan rakyat Indonesia melalui pungutan pajak. Perbuatan oknum aparat pajak yang nyata-nyata mengingkari tuntutan bagi mereka sebagai abdi negara ini bukan sekadar terus berlanjut, melainkan justru kian meraja-lela.

Ironinya, jajaran pimpinan Ditjen Pajak sendiri belum terlihat menunjukkan kesungguhan melakukan langkah-langkah taktis, strategis, nyata, konsekuen, dan konsisten menertibkan berbagai penyimpanan oleh oknum-oknum aparat pajak ini.***

Jakarta, 2 September 2003

Tidak ada komentar: