19 September 2003

White Paper

Program kebijakan ekonomi pemerintah pasca-IMF -- tertuang dalam sebuah dokumen buku putih (white paper) yang awal pekan ini diumumkan pemerintah -- sungguh amat menentukan perkembangan kita ke depan. Seperti kata Menkeu Boediono, program tersebut amat diharapkan mampu mengisi kesenjangan kredibilitas pemerintah setelah kita tak lagi terikat kerja sama pemulihan ekonomi dengan IMF. Kesenjangan kredibilitas ini memang amat riskan karena bisa melahirkan guncangan-guncangan dalam kehidupan ekonomi nasional. Justru itu, perekonomian kita pun bukan tidak mungkin mengalami kemunduran.

Pemerintah mungkin sudah berupaya keras menyiapkan program kebijakan ekonomi pasca-IMF ini. Paling tidak, proses penyusunan dokumen white paper ini -- yang terkesan alot hingga melampaui tenggat yang dibuat pemerintah sendiri -- bisa kita tangkap sebagai indikasi tentang itu. Semula pemerintah menjanjikan mengumumkan penerbitan dokumen white paper ini pada 16 Agustus 2003 dalam sidang paripurna DPR. Tapi ternyata dokumen yang tertuanga dalam Inpres No 5/2003 itu baru bisa diluncurkan sebulan kemudian, yakni Senin lalu (15/9).

Program kebijakan ekonomi pemerintah pasca-IMF ini memiliki tiga sasaran pokok, yaitu memelihara dan memantapkan stabilitas ekonomi makro yang sudah dicapai, melanjutkan restrukturisasi dan reformasi sektor keuangan, serta meningkatkan investasi, ekspor, dan penciptaan lapangan kerja.
Bahwa ternyata paket program kebijakan ekonomi pasca-IMF ini tidak bisa memuaskan semua pihak, itu bisa kita maklumi. Kita sadari penuh bahwa bagaimanapun sebuah produk -- terlebih itu menyangkut kebijakan yang akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi nasional -- tak mungkin benar-benar sempurna bak kitab suci. Tergantung kepentingan dan sudut pandang yang kita gunakan: paket kebijakan ekonomi pasca-IMF ini pun bisa terlihat seperti loyang atau emas.

Namun kalau keluhan mengenai isi white paper ini dilontarkan pelaku usaha, tampaknya kita tak bisa diam begitu saja dan menganggap keluhan itu tak istimewa. Selaku pihak yang berkepentingan langsung, pandangan dunia usaha tentang program kebijakan ekonomi pasca-IMF mungkin bukan sekadar soal kacamata yang digunakan. Pandangan itu, agaknya, bukan cuma sebuah penilaian, tinjauan, atau telaah yang lebih kental bernuansa teroritis sebagaimana lazim dikemukakan kalangan pengamat. Pandangan itu justru lebih merupakan reaksi menyangkut aspirasi atau harapan obyektif yang kandas.

Dunia usaha memang amat berharap terhadap program kebijakan ekonomi pasca-IMF ini. Mungkin melebihi pihak mana pun, termasuk pemerintah sendiri, bagi mereka program itu harus menjadi jalan yang membuat kendaraan bisa melaju mulus.

Karena itu, keluhan dunia usaha mengenai isi white paper ini tak layak kita pandang sebagai semacam celotehan atau gerutuan. Sekali lagi, keluhan itu sepatutnya kita perlakukan sebagai cerminan bahwa aspirasi dan harapan obyektif dunia usaha tentang perjalanan panjang pasca-IMF ternyata kandas.

Sejauh yang kita tangkap lewat pemberitaan di media massa, dunia usaha nasional menilai isi white paper lebih menonjolkan aspek makro yang sebenarnya menjadi porsi Program Pembangunan Nasional (Propenas). Padahal seharusnya white paper justru merupakan penjabaran teknis atas Propenas.

Dalam bahasa lebih gamblang, di mata dunia usaha kita, program kebijakan ekonomi pasca-IMF sama sekali tak memuat terobosan yang menjamin masa depan ekonomi nasional benar-benar bergerak aman dan nyaman. Apa mau dikata karena langkah-langkah yang ingin diayunkan pemerintah sungguh tidak jelas dan normatif. Untuk meningkatkan investasi dan ekspor, misalnya, program pemerintah itu mereka nilai tak menjanjikan langkah fundamental, strategis, dan operasional.

Di sisi lain, dunia usaha kita juga tak terlampau yakin terhadap sikap konsekuen dan konsisten pemerintah dalam mengimplementasikan isi white paper ini. Bagi mereka, boleh jadi isi white paper kelak terbukti hanya menjadi tumpukan kertas yang tidak menorehkan manfaat sebagaimana harapan semula.

Memang, keraguan -- tentang apa pun dan dilontarkan oleh siapa pun -- hampir selalu berbau prasangka negatif. Tetapi menilik kecenderungan selama ini, keraguan dunia usaha nasional terhadap konsistensi atau kesungguhan pemerintah menerapkan isi white paper ini bukan tanpa alasan -- dan karena itu boleh jadi benar. Kita tahu, IMF pernah beberapa kali menunda pencairan pinjaman justru karena pemerintah tidak konsisten terhadap butir-butir program ekonomi yang tertuang dalam letter of intent (LoI).

Karena itu, pemerintah tak selayaknya menganggap angin lalu mengenai penilaian dan kekecewaan dunia usaha soal isi white paper ini. Pada tempatnya, aspirasi itu menjadi alasan bagi pemerintah untuk langkah perbaikan menyangkut konsep programnya sendiri maupun jaminan implementasi. Betapapun, sekali lagi, dunia usaha adalah pihak yang berkepentingan langsung terhadap program kebijakan ekonomi pasca-IMF ini -- dan karena itu pandangan mereka bisa lebih obyektif.***
Jakarta, 19 September 2003

Tidak ada komentar: