23 September 2003

Independensi BI Direcoki?

Posisi Bank Indonesia (BI) lembaga independen harus terus bisa dipertahankan. Pengalaman menunjukkan, ketika masih merupakan subordinasi pemerintah, BI sering tak bisa optimal berperan menjaga stabilitas moneter dan keuangan. BI acap tak berdaya menghadapi intervensi atau bahkan diktean pemerintah yang notabene tidak selalu berada dalam koridor kepentingan moneter ataupun keuangan. Puncaknya ketika BI menggelontorkan sekian banyak dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Itu serta-merta menjadi langkah blunder karena terbukti bahwa kucuran BLBI banyak bermasalah -- sampai pun nyaris membangkrutkan BI sendiri.

Jadi, bagi BI, independensi adalah kebutuhan yang sama sekali tak bisa diabaikan. Dengan independensi, bank Indonesia bisa benar-benar fokus dan konsisten berperan menjaga stabilitas moneter. Itu sungguh menjadi modal berharga bagi kita -- meski bukan satu-satunya faktor -- untuk bangkit meninggalkan krisis ekonomi yang menyergap kita begitu telak pada medio 1997 silam.

Manfaat independensi BI ini bahkan sudah bisa kita nikmati sekarang. Lihat saja, kurs rupiah ataupun inflasi terus terkontrol pada level yang cukup memberi ruang bagi kegiatan ekonomi masyarakat. Di sisi lain, tingkat sukubunga perbankan juga mampu dikendalikan hingga mencapai posisi yang relatif rendah.

Terus-terang, kita sulit membayangkan kondisi seperti itu bisa tercipta kalau saja BI tidak independen seperti di masa lalu. Bahkan, boleh jadi, kondisi ekonomi nasional sekarang ini belum juga relatif membaik dibanding saat krisis ekonomi benar-benar berkecamuk.

Karena itu, kita terperanjat ketika sekonyong-konyol muncul usulan pemerintah tentang apa yang disebut Dewan Supervisi BI. Kita terperanjat karena tampaknya lembaga tersebut bisa menggerogoti independensi BI. Itu terutama karena, konon, Dewan Supervisi bisa merekomendasikan pemecatan Dewan Gubernur BI.

Mungkin apriori jika kita berasumsi bahwa peran dan fungsi Dewan Supervisi seperti itu bisa membuat BI tak lagi bisa independen. Tetapi tidak berlebihan jika kita juga khawatir atas kemungkinan bahwa kelak rekomendasi pemecatan menjadi komoditas politik dagang sapi. Terlebih lagi, siapa bisa menjamin bahwa rekomendasi Dewan Supervisi ini benar-benar obyektif alias benar-benar tidak mengusung kepentingan-kepentingan pihak tertentu? Kalaupun sungguh-sungguh obyektif, tetap saja sulit dijamin bahwa rekomendasi itu tidak dimanfaatkan pihak lain untuk menekan [impinan BI agar menggelar kebijakan sesuai kepentingan jangka pendek mereka. Justru itu, independensi BI pun sungguh menjadi taruhan.

Boleh jadi, Dewan Gubernur BI sendiri tak bakal mudah digertak atau ditekan oleh rekomendasi Dewan Supervisi ini. Tapi sedikit ataupun banyak, rekomendasi tersebut pasti punya pengaruh terhadap konsentrasi kerja mereka. Seperti kata Deputi Senior Gubernur BI Anwar Nasution, rekomendasi itu pasti terasa merecoki kiprah pimpinan BI.

Walhasil, keberadaan Dewan Supervisi BI ini terasa tak urgen -- bahkan cenderung bisa melahirkan suasana tidak produktif di tengah tuntutan aktual-obyektif yang dihadapi BI. Karena itu, kita sungguh memahami sikap pimpinan BI yang serta-merta menolak gagasan tentang pembentukan Dewan Supervisi ini.

Bahwa akuntabilitas BI perlu terus ditingkatkan, kita setuju seratus persen. Kita sependapat bahwa independensi jangan sampai membuat BI tak bisa dikontrol ataupun disentuh pihak lain. Bagaimanapun kiprah BI tetap harus bisa dikendalikan hingga tidak keluar koridor yang kita sepakati. Dengan kata lain, kita sangat tak menginginkan bahwa dengan dan atas nama independensi, BI bisa bablas melangkah tanpa bisa diingatkan pihak lain. BI tidak boleh menjadi seperti negara dalam negara.

Untuk itu, keberadaan BI memang tetap membutuhkan kontrol. Tetapi itu tidak berarti bahwa BI perlu didampingi lembaga baru seperti Dewan Supervisi yang diusulkan pemerintah. Sebab, bukankah selama ini mekanisme kontrol terhadap BI ini sudah terwadahi melalui peran dan kontrol DPR? Secara politis kebijakan, setiap saat DPR bisa melakukan kontrol terhadap langkah-langkah BI. Lalu, secara teknis administrasi keuangan, BI juga selalu diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Apakah peran DPR dan BPK dalam rangka menegakkan akuntabilitas BI ini masih kurang? Jika itu yang menjadi soal, mestinya pemerintah mendesak DPR dan BPK agar lebih meningkatkan dan fungsi mereka. Tapi kita lebih khawatir, jangan-jangan gagasan tentang pembentukan Dewan Supervisi ini lebih merupakan upaya merecoki independensi BI.***
Jakarta, 23 September 2003

Tidak ada komentar: