23 September 2003

Pasar yang Gurih

Menjadi negara dagang sebenarnya bukan aib. Bahkan itu bisa menjadi berkah yang menyejahterakan kehidupan kita bersama sebagai bangsa. Negara seperti Singapura atau Hong Kong adalah contoh terbaik tentang itu. Singapura dan Hong Kong adalah pasar atau arena dagang yang tak pernah sepi. Posisi kedua negara tersebut di pentas internasional malah begitu mencorong. Keduanya amat diperhitungkan karena turut menentukan irama dan arah bisnis global. Itu pula yang membuat Singapura mampu tampil sebagai negara yang makmur.

Kita juga tampaknya sudah mulai menjadi negara dagang. Tetapi berbagai kecenderungan yang memberi indikasi kuat tentang itu malah membuat kita prihatin dan cemas. Betapa tidak, karena kecenderungan itu mengarahkan kita sekadar menjadi pasar. Berbeda dengan Singapura atau Hong Kong, kita sepertinya terkondisi cuma menjadi tempat atau arena dagang bagi pihak lain. Kita tampaknya tidak banyak terlibat sebagai pelaku aktif dalam degup kehidupan perdagangan itu.

Coba saja simak indeks kapasitas produksi industri nasional yang terus merosot, sementara di lain pihak pertumbuhan konsumsi justru terbilang tinggi. Menurut catatan, indeks kapasitas terpakai industri kita melorot dari 51 persen pada Oktober 2002 menjadi 41 persen pada Januari 2003. Di sisi lain, indeks produksi justru turun dari 109,2 pada tahun 2000 menjadi 100,3 pada tahun 2002. Padahal pertumbuhan konsumsi meningkat terus.

Itu adalah petunjuk nyata bahwa pasar domestik kita telah dikuasai barang impor. Kenyataan tersebut diperkuat oleh data lain yang memperlihatkan bahwa selama periode Januari-Juli 2003, impor barang modal menurun 6,14 persen dibanding periode sama tahun lalu. Artinya, sektor produksi kita tidak melakukan ekspansi berupa peningkatan kapasitas produksi ataupun membuat proyek baru. Ini bukan saja mencerminkan bahwa produk industri nasional kewalahan menghadapi serbuan impor, melainkan juga kesulitan mengembangkan ekspor.

Gambaran itu kian gamblang tertoreh lewat data impor secara keseluruhan. Selama periode Januari-Juli 2003, total impor kita naik 11,7 persen dari 16,6 miliar dolar AS menjadi 18,54 miliar dolar AS pada periode tujuh bulan pertama tahun lalu. Artinya, aneka barang impor kian banyak menghambur masuk ke pasar dalam negeri.

Dalam konteks itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa selama semester I/2003, negara yang paling banyak memasok barang ke Indonesia adalah Jepang (19,4 persen), AS (13,58 persen), dan Cina (9,8 persen). Justru itu, aneka produk negara-negara tersebut begitu bertebaran di pasar dalam negeri.

Negara-negara lain memang belum terlampau signifikan dalam memasok aneka produk mereka ke pasar domestik ini. Tapi itu tetap tak bisa dipandang enteng. Tengok saja produk mereka di pasar: sudah lumayan marak. Kita tak akan kesulitan mencari produk buatan India, Taiwan, Korea, Inggris, atau Swedia.

Anehnya, BPS sendiri selalu mencatat bahwa neraca perdagangan kita selama ini mampu menuai surplus. Artinya, nilai ekspor kita relatif lebih tinggi ketimbang impor. Tapi kemungkinan besar itu bias: karena aneka produk impor yang masuk melalui jalur ilegal (selundupan) tak pernah bisa dicatat. Sementara praktik penyelundupan itu sendiri, meski terbatas mencakup produk-produk tertentu, sudah terbilang serius.

Justru itu, kita sulit mengingkari bahwa sebenarnya pasar domestik kita sudah didominasi aneka produk impor -- entah resmi ataupun ilegal. Terlebih, itu tadi, data juga gamblang menunjukkan bahwa industri kita kini sudah tidak lagi mampu melakukan ekspansi.

Karena itu pula, ke depan ini perkembangan yang terjadi hampir pasti membuat kita harus lebih mengeluas dada: pasar domestik kita semakin serius dikangkangi aneka produk impor. Kita niscaya kian terkondisi hanya menjadi pasar, sementara kita sendiri semakin tersisih sebagai pelaku aktif.

Asumsi itu tak berlebihan. Pertama, karena kita belum melihat langkah konkret sebagai terobosan untuk menggairahkan iklim investasi di dalam negeri. Kalaupun keinginan atau wacana tentang itu dilontarkan pihak-pihak berwenang, implementasinya pasti tidak mudah -- dan karena itu membutuhkan waktu. Maklum karena terobosan tentang kebijakan investasi ini menuntut kerelaan banyak pihak untuk dipreteli peran atau kewenangannya.

Kedua, karena kita telanjur terikat oleh perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement). Yang sudah pasti saja, kita sudah tak mungkin mengelaki perdagangan bebas di kawasan ASEAN (AFTA) yang kini mulai bergulir. Beberapa tahun kemudian, kita juga harus konsekuen mengikuti perdagangan bebas dalam kerangka kerja sama ekonomi Asia-Pasifik (APEC). Lalu, kita juga terikat oleh kesepakatan-kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Dalam berbagai kesepakatan atau perjanjian perdagangan bebas itu sendiri, kita telanjur kebablasan. Kita terlampau berani membuka pasar domestik kita, sementara infrastruktur ekonomi-bisnis di dalam negeri justru tidak siap. Tak heran kita pun lantas menjadi pasar yang gurih tanpa kita banyak terlibat aktif sebagai pelaku.***
Jakarta, 12 September 2003

Tidak ada komentar: