29 Agustus 2003

Premanisme dan Investasi

Premanisme, di mana pun dan dalam kondisi bagaimanapun, selalu menimbulkan kesan tidak sedap. Premanisme adalah sikap-tindak yang tak pernah mengindahkan nilai kesantunan, rasa malu, dan kebanggaan sejati. Karena itu, premanisme adalah cermin buram yang membuat wajah elok sekalipun menjadi terlihat penuh borok.

Begitu pula dalam konteks investasi: premanisme tak pelak membuat kalangan pemilik modal enggan masuk ke negeri kita. Bahkan mereka yang selama ini sudah berkiprah pun menjadi gerah, tak genah, dan karena itu ingin hengkang ke negeri lain yang menawarkan surga berbisnis.

Kenyataan itu jelas sungguh tidak produktif, atau bahkan menjadi disinsentif bagi kepentingan ekonomi nasional kita. Upaya pemerintah menghidupkan kembali ekonomi domestik -- notabene resmi ditandai dengan pencanangan tahun 2003 sebagai Tahun Investasi -- menjadi sia-sia saja. Coba saja simak angka loan to deposit ratio (LDR) perbankan kita yang rata-rata masih menapak di bawah 40 persen. Angka itu menunjukkan bahwa perbankan masih relatif sedikit mengucurkan kredit ke sektor riil.

Boleh jadi, itu bukan terutama karena perbankan nasional enggan menyalurkan kredit, melainkan justru lebih karena sektor riil sendiri amat kurang meminta guyuran kredit. Bahkan pengakuan kalangan perbankan -- bahwa tak sedikit kredit yang sudah memperoleh persetujuan tak kunjung dicairkan debitur -- mungkin tidak mengada-ada.

Tentu, keengganan debitur mencairkan kredit itu memiliki alasan tertentu yang amat mendasar. Mungkin mereka jadi ragu atau bahkan memutuskan tak jadi merealisasikan proyek. Dalam kaitan ini, boleh jadi mereka menilai bahwa pemanfaatan kredit sungguh tidak produktif atau berisiko menjadi bumerang mematikan -- yakni kredit mengalami kemacetan karena proyek investasi yang mereka danai tak terjamin berlangsung lancar, antara lain gara-gara gangguan premanisme.

Premanisme sesungguhnya bukan lagi sekadar mengganggu, melainkan sudah merupakan penyakit berbahaya (enemies). Itu pula, agaknya, yang ingin disampaikan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Theo F Toemion, beberapa hari lalu. Sebagai pihak yang dibebani tanggung jawab menjaring dan menebarkan proyek investasi di dalam negeri, Theo memang terkesan amat gundah oleh premanisme dalam konteks investasi ini -- di samping juga oleh faktor kewenangan BKPM sendiri yang dia rasakan tak bisa optimal memberikan layanan kepada investor.

Theo layak gundah karena premanisme memang begitu marak. Ini tak hanya terjadi di lapangan atau di lokasi proyek, melainkan juga sejak lama -- seiring reformasi -- menggejala di kantor-kantor birokrasi.

Premanisme di lokasi proyek dilakukan oleh preman sungguhan, yakni mereka yang lebih mengandalkan modal nyali, otot, atau kesangaran penampilan fisik. Sementara premanisme di kantor-kantor birokrasi dilakukan oleh oknum-oknum kekuasaan yang memanfaatkan kewenangan di tangan mereka sebagai alat untuk memeras investor bagi kepentingan kantung sendiri.

Bagi investor, preman sungguhan ataupun preman kantoran sama-sama memusingkan -- karena amat membebani investasi. Jika preman sungguhan sekadar meminta uang rokok atau uang jasa keamanan, preman kantoran tak ragu dan tak malu-malu lagi meminta upeti, sogokan, pelicin, dan sejenisnya dalam jumlah relatif besar.

Itu sungguh menjadi disinsentif bagi iklim investasi kita. Terlebih iklim investasi di dalam negeri ini sejak lama dikeluhkan sudah miskin insentif -- dan karena itu kalah bersaing oleh negara-negara tetangga. Tim Kerja Sama Ekonomi Indonesia-Jepang, misalnya, menyebutkan bahwa iklim investasi di dalam negeri kini terasa tak mengundang minat dan gairah karena tak menjanjikan insentif fiskal maupun finansial.

Jujur saja, potret buram iklim investasi di dalam negeri ini sudah sejak lama kita ketahui -- karena memang sering dikeluhkan dunia usaha. Tapi patut kita akui pula, langkah-langkah nyata perbaikan nyaris tak diperlihatkan pihak-pihak yang memiliki kewenangan membuat kebijakan.

Karena itu, kita menangkap kesan bahwa keluhan dunia usaha tentang iklim investasi yang sudah tak kondusif ini adalah satu hal, sementara upaya perbaikan adalah soal lain yang tak harus sungguh-sungguh dilakukan -- karena bisa mengganggu premanisme yang notabene selama ini melibatkan oknum birokrasi. Karena itu, serupa apa pun iklim investasi sekarang, bagi mereka bukan soal yang mengundang prihatin. Bagi mereka, business as usual!

Kalaupun terlihat keinginan mereka membuat perubahan, itu bukan merujuk pada prasyarat kondisional dan proses. Apa yang mereka perlihatkan tentang itu justru langsung menunjuk pada hasil (goals): bahwa kegiatan investasi harus bangkit bergairah lagi. Itu mereka tunjukkan dengan membuat target atau proyeksi kuantitatif.

Tak heran, karena itu, pencanangan tahun 2003 sebagai Tahun Investasi pun terasa sia-sia. Apa boleh buat, karena pencanangan itu nyaris tak direspons positif dan proaktif lewat perbaikan regulasi atau kebijakan yang konsisten mengharamkan premanisme, serta di sisi lain memberikan insentif menggairahkan bagi investor.***
Jakarta, 29 Agustus 2003

Tidak ada komentar: