12 Agustus 2003

Lembaga Pengganti Bulog?

Konon, Deptan sedang menyiapkan sebuah lembaga yang akan menggantikan peran Bulog. Itu dipandang perlu karena Bulog sendiri sudah berganti status menjadi perusahaan umum (perum). Padahal peran yang selama ini dijalani Bulog amat strategis, terutama dalam konteks ketahanan pangan nasional. Ada kesan bahwa pemerintah, khususnya Deptan, galau oleh masalah ketahanan pangan nasional sekarang ini. Perubahan status Bulog menjadi perum, dalam kaitan ini, mungkin mereka nilai membuat rentan ketahanan pangan nasional ini.

Sebagai lembaga berstatus perum, Bulog memang sulit menghindari orientasi komersial alias mencari untung. Beda dengan dulu ketika masih berstatus lembaga pemerintah nondepartemen, Bulog boleh dibilang tak hirau soal untung-rugi. Bagi mereka ketika itu, ukuran keberhasilan bukan seberapa besar meraup untung, melainkan sejauh mana stabilitas harga bahan kebutuhan pokok masyarakat bisa dijaga.

Kini, setelah menyandang status perum, Bulog justru harus cermat memperhitungkan soal untung-rugi. Mereka tak bisa lagi menutup mata atas risiko yang jelas-jelas bakal menorehkan kerugian finansial atas langkah yang mereka ayunkan.

Memang, dengan menyandang status perum pun, Bulog tetap dibebani tugas khusus: stabilisasi harga beras di dalam negeri sesuai patokan harga dasar, menyalurkan beras untuk masyarakat miskin, dan menjaga stok beras nasional agar tetap aman bagi kebutuhan pangan dalam negeri. Tugas itu tetap dibebankan kepada Bulog karena pemerintah memandang beras sebagai komoditas strategis yang harus dikelola khusus.

Namun dalam praktik amat terkesan bahwa dalam melaksanakan tugas khusus itu Bulog tetap tak bisa begitu saja menghilangkan semangat bisnis. Terutama menyangkut stabilisasi harga beras, hitung-hitungan untung-rugi tetap menjadi pijakan Bulog. Buktinya, saat panen raya, beberapa waktu lalu, harga gabah di tingkat petani anjlok jauh di bawah harga pembelian pemerintah. Bulog amat terkesan tak berdaya terhadap kejatuhan harga gabah di tingkat petani ini karena mereka memang telanjur dirasuki semangat bisnis yang amat peduli terhadap soal untung-rugi finansial.

Bukti lain, dalam rangka melakukan tugas stabilisasi harga beras atau gabah pada saat panen raya ini, Bulog beserta jaringan Dolog tidak menggenggam dana tunai. Apa yang ada dalam genggaman mereka adalah surat kredit alias L/C. Justru itu, langkah pembelian gabah petani pun amat terkesan setengah hati: tak proaktif dan langsung berhadapan dengan petani di lapangan, melainkan cenderung sekadar menunggu setoran agen (pedagang pengumpul) di gudang-gudang Bulog/Dolog. Itu pula yang membuat harga pembelian pemerintah -- istilah lain harga dasar -- sulit tidak anjlok. Harga pembelian pemerintah praktis hanya dinikmati oleh para pedagang pengumpul.

Kenyataan itu merisaukan. Terutama kehidupan petani padi menjadi sulit diharapkan terjamin membaik. Bagi mereka, panen raya malah menjadi ironi: bukannya mengangkat derajat kehidupan ekonomi, melainkan justru membuat terpuruk -- karena harga gabah anjlok tak tertahankan.

Pada gilirannya, itu membuat sendi-sendi ketahanan pangan nasional terancam tergerogoti. Saat musim paceklik seperti sekarang, petani benar-benar terjepit: stok pangan sudah tak lagi mereka miliki, sementara harga beras di pasar cenderung membumbung. Di saat lain, manakala musim tanam tiba, mereka telanjur kehabisan daya -- bahkan mungkin termasuk gairah bertani.

Walhasil, kegalauan pihak Deptan mengenai ketahanan pangan nasional ini memang amat beralasan. Karena itu pula, kita bisa memahami gagasan dan inisiatif mereka menyiapkan lembaga baru yang kelak menjalani peran Bulog sebelum berubah status menjadi perum. Dalam konteks ini, langkah Deptan bisa kita artikan sebagai wujud ketidakyakinan mereka akan kesungguhan Bulog sekarang ini melaksanakan tugas khusus yang diberikan pemerintah, terutama stabilisasi harga beras.

Namun, tentu, kita tidak mengharapkan langkah Deptan ini kemudian menjelmakan lagi sosok lembaga yang persis mirip Bulog di masa lalu. Kita tahu, sosok Bulog di masa lalu sungguh ngawur -- karena menyandang peran pengatur regulasi, pemain, sekaligus pengawas. Akibatnya, seperti kata Mentan Bungaran Saragih, keberadaan Bulog di masa lalu demikian sarat skandal penyimpangan yang kemudian berujung pada skandal keuangan.

Karena gagasan pembentukan lembaga baru pengganti Bulog di masa lalu ini jelas berangkat dari keinginan menegakkan ketahanan pangan nasional, fungsi dan peran lembaga itu jelas harus tegas dan spesifik. Fungsi regulasi jelas tidak perlu. Begitu pula fungsi pengawas. Jadi, barangkali, fungsi lembaga baru itu kelak sebatas menjadi pemain hingga stabilisasi harga gabah atau beras, khususnya, benar-benar efektif terjaga dan tidak merugikan petani.

Kalau benar itu adanya, tugas yang kini dibebankan pada Bulog -- khususnya stabilisasi harga gabah dan menjaga stok beras nasional -- kelak tidak relevan lagi. Tugas yang dibebankan pemerintah pada Bulog mungkin hanya menyalurkan beras untuk masyarakat miskin. Selebihnya, Bulog harus bisa membuktikan diri sebagai sebuah entitas bisnis yang sehat dan mampu menuai untung.***
Jakarta, 12 Agustus 2003

Tidak ada komentar: