15 Agustus 2003

Rezim Antipencucian Uang

Teguran pemerintah AS mengenai kekurangseriusan kita menerapkan rezim antipencucian uang selayaknya tak kita pandang sebagai sebuah tekanan. Surat resmi tentang itu, yang dilayangkan Dubes AS untuk Indonesia Ralph L Boyce kepada Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah, 6 Agustus 2003, lebih baik kita pandang sebagai sebuah "alarm": bahwa penerapan rezim antipencucian uang memang sudah merupakan kebutuhan kita yang amat mendesak.

Dengan kearifan seperti itu, kita niscaya bisa lebih obyektif menilai ancaman atau risiko yang harus kita pikul kalau saja kita sampai divonis tak serius membangun dan menerapkan rezim antipencucian uang. Ancaman itu, entah dari pihak mana pun datangnya, tak kita hadapi dengan sikap emosional dalam bingkai nasionalisme sempit -- seolah-olah kita didikte agar menerapkan langkah-langkah menangkal dan memberantas tindak pencucian uang (money laundering).

Teguran yang dilontarkan pemerintah AS sendiri tak bisa kita pandang remeh -- karena disertai ancaman yang bisa mematikan aktivitas jasa keuangan kita dengan AS. Terlebih teguran yang dilayangkan pada 6 Agustus lalu itu -- bahwa Indonesia tetap masuk daftar negara tak kooperatif dalam konteks pencegahan korupsi dan tindak kejahatan di bidang keuangan -- merupakan kali yang kelima sejak 2001.

Justru itu, teguran merupakan sebuah pertanda bahwa kita selama ini cenderung abai atau menganggap remeh urgensi membangun dan menerapkan rezim antipencucian uang ini.

Jadi, teguran kali kelima pemerintah AS itu sungguh harus kita pedulikan dengan segenap kesadaran bahwa itu memang obyektif. Jika tidak, seperti kata Boyce dalam surat kepada Gubernur BI itu, pemerintah AS niscaya tak segan-segan memberlakukan sanksi Patriot Act 311. Itu adalah undang-undang yang memberi hak kepada Depkeu AS mengaduk-aduk "jeroan" perbankan nasional yang beroperasi di AS. Misalnya, perbankan kita diwajibkan melaporkan semua transaksi -- termasuk identitas pemilik rekening -- melalui bank bersangkutan. Di sisi lain, korespondensi bank-bank kita dengan perbankan AS juga bisa dihambat atau bahkan diputus.

Risiko yang harus kita tanggung kalau kita tetap tak serius membangun rezim antipencucian uang ini bisa lebih serius lagi kalau Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering juga menjatuhkan sanksi. Kita bisa benar-benar terisolasi dari percaturan transaksi keuangan global. Hubungan perbankan nasional dengan bank-bank koresponden di mancanegara diputus total, sehingga kita praktis terkucil dari komunitas ekonomi-bisnis dunia.

Kepastian tentang sanksi FATF sendiri bagi kita -- apakah jadi dikenakan atau urung -- tertoreh pada awal Oktober 2003 melalui sidang pleno FATF. Kepastian tersebut amat tergantung pada amandemen UU No 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Di samping harus tuntas paling lambat akhir September 2003, hasil amandemen itu sendiri harus benar-benar menunjukkan keseriusan kita membangun rezim antipencucian uang.

Soal keseriusan itu sendiri -- sesuai penilaian FATF -- terutama merujuk pada klausul tentang batasan jumlah hasil tindak pidana pencucian uang yang digariskan dalam undang-undang antipencucian -- tak lagi minimal sebesar Rp 500 juta, melainkan harus jauh di bawah itu. Juga memasukkan klausul tentang tipping off, yaitu larangan bagi penyedia jasa keuangan memberi tahu nasabah tentang laporan transaksi keuangan mencurigakan yang terkait dengan nasabah tersebut.

Di sisi lain, hasil amandemen UU No 15/2002 ini juga harus mendefinisikan transaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transaction) secara luas: mencakup transaksi maupun percobaan transaksi keuangan dengan menggunakan dana yang diduga hasil tindak kejahatan. Lalu, jangka waktu kewajiban penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan oleh penyedia jasa keuangan juga dibuat lebih cepat -- kurang dari 14 hari sebagaimana.

Kelemahan atas klausul-klausul itu pula, sebenarnya, yang telah mengantarkan kita masuk daftar negara tidak kooperatif dalam konteks pembangunan rezim antipencucian uang. Justru itu, seharusnya, kita sudah terkena sanksi (counter measures) FATF. Tapi dalam pertemuan FATF di Berlin, Juni lalu, kita masih bisa meyakinkan FATF mengenai langkah-langkah perbaikan yang kita lakukan dalam membangun rezim antipencucian uang ini. FATF masih memberi kita kesempatan untuk itu sampai sidang paripurna FATF di Swedia, awal Oktober mendatang.

Kita tentu berharap sidang pleno FATF itu urung menorehkan sanksi bagi kita -- karena kita dinilai sudah serius membangun rezim antipencucian uang, khususnya melalui amandemen UU No 15/2002. Untuk itu, sekali lagi, teguran pemerintah AS tadi selayaknya kita anggap sebagai "alarm" yang melecut kita benar-benar lugas dan tegas menyiapkan perangkat hukum tindak pencucian uang dengan segala keseriusan pada tahap implementasi.

Kita memang tak bisa lagi abai, berleha-leha, atau menganggap sepi soal tuntutan menyangkut pembangunan rezim antipencucian uang ini. Terlebih rezim antipencucian uang memang sudah menjadi kebutuhan amat mendesak bagi kita. Jujur saja, tindak korupsi ataupun praktik kejahatan yang menghasilkan uang najis sudah begitu marak dalam kehidupan keseharian kita.***
Jakarta, 15 Agustus 2003

Tidak ada komentar: