05 Agustus 2003

Tak Seindah Ekonomi Makro

Memang beralasan jika laporan ekonomi Presiden Megawati Soekarnoputri di depan forum sidang tahunan MPR 2003, pekan lalu, dinilai kalangan ekonom sebagai paparan yang hanya indah di atas kertas. Betapa tidak, karena gambaran elok tentang ekonomi makro yang dipaparkan Mega seolah tak bertaut dengan kehidupan nyata di masyarakat. Nilai tukar rupiah yang disebutkan Mega sudah membaik signifikan terhadap dolar AS, misalnya, nyaris tak memberi dampak positif terhadap daya beli masyarakat kebanyakan maupun kehidupan sektor riil secara keseluruhan.

Begitu juga tingkat pertumbuhan ekonomi yang lumayan mengesankan -- menurut Mega, tahun ini kemungkinan mencapai 3,6 persen -- hampir-hampir tak memberikan riak berarti terhadap dunia ketenagakerjaan kita. Lihat saja, pengangguran tetap saja menggunung -- bahkan kian serius.

Tetapi, barangkali, itu bukan berarti pemerintah selama ini kurang memiliki sensitivitas ataupun kepedulian terhadap kehidupan ekonomi riil masyarakat. Kita patut meyakini bahwa paling tidak kesadaran tentang itu pasti dimiliki pemerintah. Bagaimanapun, memang, kegetiran ekonomi di tengah masyarakat ini terlampau gamblang menghampar hingga sulit dipungkiri begitu saja adanya.

Kalau begitu, kenapa pemerintah seolah kurang mampu menangani masalah getir dalam kehidupan rakyat kebanyakan ini? Kenapa progam-program yang digulirkan pemerintah terasa amat sedikit memberi perbaikan terhadap kondisi kehidupan masyarakat? Dalam bahasa lebih keren, kenapa pemerintah amat terkesan keteteran menangani sektor riil? Kenapa perbaikan di ekonomi mikro nyaris tak memberi dampak berarti terhadap kehidupan ekonomi mikro?

Tak bisa tidak, kita harus mengaitkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu dengan peran IMF. Selaku dokter ekonomi kita, bagaimanapun IMF turut berperan atau bahkan amat mempengaruhi berbagai kebijakan pemerintah. Kita tahu, letter of intent (LoI) yang disusun pemerintah hanya mungkin bisa dilaksanakan setelah memperoleh persetujuan IMF. Jika tidak, berarti LoI harus direvisi dan disesuaikan dengan rekomendasi atau bahkan keinginan IMF.

Tapi celakanya, IMF bukan "dokter" yang hebat. Dalam konteks ini, kalangan ekonom sudah sejak lama menggugat bahwa peran IMF selaku "dokter" bukan saja terasa kurang mampu memberikan resep "cespleng", melainkan juga acap memaksakan langkah yang berisiko berat terhadap kehidupan ekonomi nasional. Penutupan sejumlah bank, misalnya, adalah salah satu contoh resep IMF yang tidak "cespleng" sekaligus berisiko amat serius itu.

IMF juga amat tidak rela jika pemerintah menggelar program atau kebijakan fiskal yang mereka nilai kurang prudent. Itu pula yang menjadi penyebab kenapa masalah pengangguran, misalnya, tak kunjung tertangani secara meyakinkan. Pemerintah tak bisa leluasa menggelar stimulus ekonomi yang benar-benar membukakan ruang bagi penanganan masalah pengangguran.

Di lain pihak, pemerintah juga nyaris tak berdaya oleh diktean IMF yang membuat sektor pertanian kita kian terpontal-pontal tertekan aneka produk pangan impor. Dalam konteks ini, jelas nasib petani kita pun harus menjadi tumbal. Kita ingat bagaimana tragisnya nasib petani tebu kita akibat arus deras gula impor. Nasib petani padi pun tidak lebih baik: baras impor terus merecoki pasar dalam negeri.

Kalau saja pemerintah tidak menjadi "anak manis" dalam berhadapan dengan IMF, amat boleh jadi kehidupan ekonomi kita sudah jauh lebih baik serta benar-benar meneteskan berkah bagi masyarakat. Andai saja pemerintah memiliki keberanian menolak resep generik IMF yang belum teruji "cespleng" serta amat berisiko, tingkat pemulihan ekonomi nasional pasti tak lagi hanya indah di atas kertas tapi meranggas dalam kehidupan nyata masyarakat.

Pemerintah kita memang tidak seperti pemerintah Thailand. Meski dalam rangka pemulihan ekonomi ini Thailand juga menjadi "pasien" IMF, toh pemerintah negeri tersebut berani mengambil kebijakan progresif dengan menolak resep generik IMF. Kendati IMF sempat memberi vonis bahwa stabilitas ekonomi makro Thailand masih rapuh, pemerintah setempat tak lantas bersikap surut dalam mengayun langkah progresif bagi pemulihan ekonomi nasional mereka. Vonis IMF itu sendiri kemudian memang tidak terbukti -- dan justru karena itu ekonomi Thailand pun lebih cepat mengalami kepulihan.

Mungkin pemerintah kita bukan sekadar tak memiliki cukup keberanian, melainkan juga kurang percaya diri untuk menggelar program pemulihan ekonomi tanpa pelototan IMF. Buktinya, dalam rangka exit strategy pascaprogram IMF yang berakhir di penghujung tahun ini, pemerintah memilih opsi post program monitoring (PPM). Dengan opsi tersebut, IMF tetap memandori kita dalam mengayun langkah menuju pemulihan ekonomi ini.
Kalau begitu adanya, bisakah kita berharap bahwa ke depan ini perkembangan ekonomi makro otomatis bertautan dengan ekonomi mikro? Di bawah opsi PPM, mungkinkah sektor riil berderak kencang seiring berbagai perbaikan ekonomi makro?***
Jakarta, 05 Agustus 2003

Tidak ada komentar: