29 Juli 2003

Tren Depresiasi Rupiah

Fluktuasi kurs sebenarnya soal biasa. Nilai tukar dolar AS saja tak senantiasa perkasa. Pada saat tertentu, kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama lain di dunia bisa tersungkur tanpa daya. Lalu pada saat lain, nilai tukar mata uang tersebut kembali menguat perkasa -- sampai pada saatnya melemah kembali. Begitu seterusnya ganti-berganti.

Karena itu, soal fluktuasi kurs ini mestinya tak mengundang heboh -- apalagi membuat panik. Fluktuasi adalah gejala normal: pertanda bahwa mekanisme pasar berjalan.

Tapi bagi rupiah, fluktuasi nilai tukar hampir selalu mengundang heboh. Juga menerbitkan kecemasan, waswas, rasa miris, sangsi, bingung, atau bahkan panik. Ketika nilai tukar rupiah terhadap dolar cenderung menguat signifikan, banyak kalangan dibuat gundah. Terutama bagi kalangan eksportir, kurs rupiah yang kokoh kuat adalah petaka karena daya saing berbagai komoditas ekspor jadi melorot.

Begitu juga ketika kurs rupiah cenderung melemah seperti terjadi belakangan ini: kehebohan lagi-lagi merebak. Kecemasan, kesangsian, atau kepanikan serta-merta membayang. Spekulasi pun mengental di benak banyak kalangan: seakan-akan depresiasi rupiah ini adalah awal krisis moneter seperti pada 1997 silam.

Memang, pergerakan kurs rupiah terhadap dolar AS dalam sepekan terakhir memastikan depresiasi bergulir dalam hitungan berarti. Nilai tukar rupiah terus menggelincir dari Rp 8.240 per dolar AS pada posisi dua pekan silam menjadi Rp 8.515 per dolar pada penutupan perdagangan Jumat lalu. Bahkan kalau saja Bank Indonesia tidak mengguyurkan dolar ke pasar, nilai tukar rupiah ini pasti lebih jeblok lagi.

Terus-terang, kita ragu terhadap asumsi yang menyebutkan bahwa depresiasi rupiah kali ini terkait dengan aksi kalangan korporat memburu dolar AS dalam rangka membayar utang. Mungkin benar, kalangan korporat dihadapkan pada kebutuhan mendesak berupa membayar utang yang segera jatuh tempo. Tapi kita tidak yakin bahwa kebutuhan tersebut merupakan penyebab aksi buru dolar AS.

Apa yang lebih mungkin terjadi adalah bahwa aksi buru dolar AS oleh kalangan korporat ini merupakan cermin kepanikan mereka atas pergerakan rupiah yang belakangan cenderung melemah. Sebagai tindakan antisipasi mengamankan risiko kurs dalam rangka membayar utang, mereka berlomba memburu dolar AS. Tapi justru karena itu pula, rupiah malah kian deras terdepresiasi.

Dengan kata lain, aksi buru dolar itu justru merupakan faktor yang kian memacu nilai tukar rupiah semakin tergelincir. Justru itu pula, boleh jadi tekanan terhadap kurs rupiah ini masih akan terus berlangsung. Makin kencang ksi buru dolar AS, kurs rupiah kian tertekan. Nilai tukar yang semakin terdepresiasi pun, pada gilirannya, kian membuat panik kalangan korporat hingga mereka lebih membabi-buta memburu dolar AS.

Atas dasar itu pula, Bank Indonesia pun merasa perlu melakukan intervensi ke pasar. Untuk menahan kurs rupiah tidak semakin jeblok oleh tindakan spekulasi, Bank Indonesia menggelontorkan dolar ke pasar uang. Tapi sampai kapan itu beralasan dilakukan jika tekanan spekulasi ternyata tak kunjung surut?

Awalnya, tekanan terhadap nilai tukar rupiah ini dipicu oleh kalangan investor asing memindahkan portofolio mereka ke denominasi dolar AS. Tapi mestinya itu tak serta-merta menimbulkan kepanikan, terutama di kalangan korporat kita yang masih memikul beban utang luar negeri. Toh tindakan kalangan investor asing mengalihkan portofolio investasi dalam denominasi rupiah ke dolar AS ini bukan tanpa alasan mendasar. Yakni karena rupiah sebagai alternatif investasi sudah kehilangan daya tarik akibat sukubunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sudah melorot di bawah level 10 persen.

Bahwa Bank Indonesia terus menurunkan tingkat bunga SBI hingga mencapai 9,17 persen, itu sebenarnya bukan tindakan salah. Bahkan langkah tersebut strategis: untuk merangsang perbankan nasional menjalankan fungsi intermediasi yang akan membuat sektor riil segera bergerak kembali.

Namun kenapa tingkat bunga SBI ini seolah menjadi biang penyebab kepanikan pasar hingga terjadi aksi buru dolar AS, padahal tindakan tersebut justru menekan nilai rukar rupiah? Boleh jadi, kecenderungan itu merupakan cermin ketidakpercayaan pasar terhadap kondisi ekonomi nasional. Pasar tidak pede mengenai kondisi ekonomi kita saat ini maupun masa datang. Meski secara keseluruhan fundamental ekonomi kita sekarang sudah bagus, pasar tetap saja merasa tidak tenang dan tidak nyaman oleh tren depresiasi rupiah belakangan ini -- dan karena itu pasar dilanda waswas serta panik.

Pasar tidak pede mengenai kondisi ekonomi nasional, karena pemerintah sendiri terkesan gamang dalam mengambil keputusan menyangkut kondisi-kondisi strategis dan mendesak. Konsep exit strategy pascakontrak IMF, misalnya, hingga kini dibiarkan menggantung. Pemerintah terkesan tidak memiliki keyakinan mengenai opsi yang harus dipilih. Antarpejabat tinggi malah asyik bersilang pendapat dan seperti lupa bahwa keputusan mengenai opsi exit strategy harus segera diambil.***
Jakarta, 29 Juli 2003

Tidak ada komentar: