11 Juli 2003

Potret Buram Koperasi

Setiap kali memperingati Hari Koperasi, kita selalu dihadapkan pada sebuah potret buram: bahwa kehidupan koperasi masih saja mengundang prihatin. Potret itu memperlihatkan bahwa degup kehidupan koperasi nyaris tak berubah dibanding tahun-tahun lampau. Bahkan, untuk sejumlah kasus, kehidupan koperasi ini malah menunjukkan kemunduran. Dibanding pelaku-pelaku lain ekonomi-bisnis dalam tataran nasional, kehidupan koperasi tetap saja tertinggal dalam posisi marginal.

Begitu juga pada peringatan Hari Koperasi tahun ini, yang jatuh Sabtu besok, potret itu masih juga belum berubah: tetap buram. Padahal setiap kali potret buram itu terpampang di depan kita, berbagai gagasan atau pemikiran tumpah-ruah. Sikap-tindak di level kebijakan, terutama, diperbarui. Itu, paling tidak, berupa semangat mengusung perbaikan dan pembaruan.

Tapi toh itu semua seolah tak punya dampak. Kehidupan koperasi tetap saja marginal. Kalaupun kemajuan tertoreh, itu bukan merupakan sebuah lompatan. Bukan sebuah perubahan signifikan. Ibarat gerak bekicot, kemajuan yang ditunjukkan koperasi itu lebih merupakan sekadar pergeseran kecil.

Dari sisi komitmen pengambil kebijakan, sebenarnya, koperasi ini sudah banyak diuntungkan. Anggaran yang disediakan pemerintah, misalnya, relatif selalu besar. Bahkan di era awal pemerintahan Orba dulu, pemerintah begitu jor-joran menaburkan bantuan finansial bagi gerakan koperasi ini. Namun itu sedikit sekali memberi bekas bagi perkembangan kualitatif perkoperasian secara keseluruhan. Itu tadi, kehidupan koperasi secara kualitatif tetap saja marginal.

Kenyataan itu menumbuhkan kesan bahwa kiprah gerakan koperasi di Indonesia ini seolah tak punya akar dan tak berpijak pada konsep. Kehidupan koperasi di Indonesia seperti bergerak tanpa arah jelas dan pasti.

Itu membuat posisi koperasi begitu rentan terhadap pergerakan lingkungan eksternal yang melahirkan persaingan bisnis demikian keras. Berbeda dengan usaha kecil dan menengah (UKM), koperasi tak memiliki kesanggupan bertahan dalam situasi dan kondisi sulit.

Ketika badai krisis ekonomi menerjang hebat, misalnya, gerakan koperasi ikut-ikutan terpuruk. Kenyataan tersebut bahkan masih terasa hingga sekarang. Entah berapa banyak koperasi yang tersungkur dan tak mampu bangkit lagi. Padahal jajaran UKM justru mampu menunjukkan daya lenting luar biasa: mereka mampu bertahan, bahkan belakangan menjadi motor yang membuat roda ekonomi nasional tak sampai berhenti total.

Itu tentu mengherankan karena dalam segi skala usaha, UKM dan koperasi tak berbeda. Dalam skala usaha, koperasi adalah UKM juga. Tapi kenapa dalam soal kinerja, koperasi dan UKM menunjukkan kenyataan berlainan? Kenapa UKM memiliki daya lenting luar biasa dalam menghadapi situasi dan kondisi ekonomi sulit, sementara koperasi nyaris seperti usaha besar: rapuh bak istana pasir?

Lalu, di mana letak kelemahan yang membuat kehidupan koperasi ini terkondisi tetap marginal? Apakah itu terletak dalam segi konsep kebijakan? Ataukah dalam aspek strategi operasional? Atau mungkinkah kelemahan itu terkait dengan faktor sikap mental dan kultur gerakan koperasi sendiri yang telanjur keenakan dalam kondisi serba diproteksi dan disuapi?

Patut kita akui, perjalanan gerakan koperasi di Indonesia memang sarat dengan proteksi dan pemanjaan-pemanjaan. Didasari pemikiran dan kepentingan yang bersipat kosmetik politik, terutama selama masa Orba, koperasi diperlakukan sebagai obyek yang harus dijaga dan dipelihara dengan segala taburan aneka fasilitas. Justru itu, kita melihat perkembangan koperasi menjadi semu dan rapuh. Koperasi hanya menjadi bilangan bonsai di atas kertas -- bukan sebuah kekuatan ekonomi berwatak kerakyatan sebagaimana cita-cita Bapak Koperasi kita, Bung Hatta.

Gelora reformasi mestinya membantu memperbaiki keadaan. Tapi, apa lacur, reformasi ternyata hanya melahirkan eforia yang membuat koperasi bisa disulap dalam sekejap sesuai kebutuhan. Reformasi juga hanya memperlakukan koperasi sebagai kuda tunggangan bagi petualang-petualang politik.

Sosok koperasi sendiri tetap tak berubah: rapuh dan manja. Dalam perjalanan yang sudah melebihi setengah abad ini, koperasi masih saja cenderung hanya bisa bergerak kalau dihela dengan fasilitas-fasilitas. Mending kalau gerak itu sendiri terbilang mengesankan. Apa yang terjadi, gerak itu justru lebih banyak sekadar langkah siput. Sementara langkah yang mengesankan acap terbukti semu.

Tetapi mungkin mengharapkan koperasi tampil sebagai sokoguru ekonomi nasional sebagaimana cita-cita para pendiri negeri ini bukan utopia. Untuk itu, koperasi jangan lagi diperlakukan sebagai bonsai yang harus selalu ketat dilindungi dan ditaburi pupuk. Juga, koperasi jangan lagi diperlakukan sebagai kuda tunggangan para petualang politik.

Dengan kata lain, semangat dan strategi pembangunan koperasi harus ditempatkan dalam format yang lebih mengondisikan proses pendewasaan alamiah. Dengan demikian, potret buram kehidupan koperasi kita bisa diharapkan berangsur-angsur pudar.***
Jakarta, 11 Juli 2003

Tidak ada komentar: