18 Juli 2003

Nasib Petani Tebu

Setelah tempo hari melambung ke level yang terbilang abnormal, kini harga gula di dalam negeri mulai condong bergerak ke ekstrem yang lain. Kini harga gula terus melorot. Melihat kecenderungan yang berlangsung selama beberapa pekan terakhir, tidak ada jaminan bahwa harga gula ini dalam waktu dekat tak akan jeblok lagi seperti tahun-tahun lalu.

Sekarang ini saja, menurut berbagai laporan, harga gula di dalam negeri terus meluncur turun mendekati harga patokan lelang sebesar Rp 3.410 per kg. Kalau saja pemerintah tak segera melakukan langkah-langkah pengamanan, sangat mungkin harga patokan itu bablas terlewati seperti tahun lalu yang menyentuh level terendah Rp 2.639 per kg. Itu jelas akan menjadi tragedi bagi petani tebu kita. Mereka bukan saja gagal menikmati untung, melainkan malah justru menderita buntung: karena biaya produksi yang mereka keluarkan rata-rata mencapai 3.000-an per kg.

Sebetulnya, perkembangan yang mengancam harga gula di dalam negeri ini merupakan tantangan bagi Perum Bulog. Selaku lembaga yang ditugasi pemerintah menyangga stabilitas harga pangan strategis seperti gula, Bulog jelas amat diharapkan mampu berperan efektif: menyelamatkan nasib petani tebu. Intinya, Bulog harus bisa membendung harga gula tak sampai terus bablas turun ke level yang amat merugikan petani tebu. Paling tidak, Bulog harus bisa mempertahankan harga gula ini di level harga lelang yang mereka sepakati bersama kalangan petani tebu dan produsen gula: Rp 3.410 per kg.

Untuk itu, Bulog memang sudah memiliki rencana melakukan pembelian gula milik petani sebanyak 270.000 ton. Tapi, amat boleh jadi, langkah Bulog membeli gula petani ini tak banyak membantu menyelamatkan perkembangan. Harga gula mungkin terus meluncur turun tak terbendung. Betapa tidak, karena di lain pihak pemerintah -- dalam konteks ini Depperindag -- telanjur mengeluarkan izin impor gula kasar (raw sugar) sebanyak 220.000 ton. Izin impor ini diberikan kepada PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) sebanyak 80.000 ton, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X sebanyak 120.000 ton, dan PTPN XI sebesar 20.000 ton.

Karena itu pula, Bulog meminta pemerintah agar menunda impor gula sebanyak 220.000 ton itu. Tapi Menperindag Rini Soewandi tandas menyatakan bahwa izin impor itu tak mungkin ditunda ataupun dibatalkan. Dengan kata lain, impor gula kasar sebanyak 220.000 ton ini akan mengalir deras masuk ke pasar dalam negeri.

Menteri Rini tak menjelaskan alasan yang membuat dia tak bisa menunda atau membatalkan izin impor gula kasar itu -- meski dia sendiri mengakui bahwa stok gula di pasar dalam negeri sudah relatif melimpah. Yang pasti, impor gula kasar dalam jumlah signifikan itu jelas akan amat menekan harga gula di dalam negeri.

Dalam konteks ini, kalangan petani tebu pun sulit diharapkan bisa menikmati harga yang masih cukup memberi keuntungan. Terlebih, di sisi lain, gula impor selundupan pun terus mengalir deras membanjiri pasar. Justru itu, bukan mustahil petani tebu ini harus menerima nasib buntung: harga gula terjerembab ke level di bawah ongkos produksi yang mereka keluarkan.

Bahwa industri gula kita harus mengimpor gula kasar, barangkali itu memang kebutuhan atau tuntutan kondisional yang sulit dihindari. Yakni agar industri bersangkutan mampu mencapai efisiensi produksi. Dalam konteks ini, beleid pemerintah tentang tata niaga gula (SK Menperindag No 643/MPP/Kep/9/2002) menggariskan bahwa izin impor diberikan terhadap industri gula nasional yang menggunakan bahan baku (tebu) eks petani lokal minimal 75 persen kapasitas produksi.

Tetapi jika aturan main itu diterapkan tanpa memperhatikan kondisi nyata di lapangan, langkah industri gula mengimpor raw sugar ini jelas jadi kontra produktif. Itu pula, agaknya, yang terjadi sekarang ini. Impor gula kasar sebanyak 220.000 ton tetap dilakukan justru ketika musim giling tebu milik petani sedang berlangsung. Bagaimanapun, secara psikologis, itu membuat harga lelang gula milik petani jadi tertekan hebat.

Kita menghargai niat pemerintah yang, konon, segera turun tangan untuk mengamankan harga gula di dalam negeri ini. Meski belum tahu persis langkah pasti ke arah itu, kita percaya bahwa nasib petani tebu merupakan fokus pertimbangan pemerintah. Justru itu, kita amat berharap bahwa langkah pemerintah ini benar-benar efektif: mampu menyelamatkan harga gula hingga tak sampai terperosok di bawah ongkos produksi petani tebu.

Kendati demikian, kita tetap tak bisa menghilangkan rasa heran oleh sikap pemerintah yang tak tergerak menutup sementara kran impor gula kasar oleh kalangan produsen pada saat sekarang ini. Kita menangkap kesan, pemerintah seolah menutup mata atas kenyataan bahwa musim giling tebu di dalam negeri sedang dan masih akan berlangsung hingga beberapa bulan ke depan. Apakah itu bukti kepedulian terhadap wong cilik hanya setengah hati?***
Jakarta, 18 Juli 2003

Tidak ada komentar: