04 Juli 2003

Transparansi Sukhoi

Kita setuju bahwa peralatan militer kita perlu diremajakan. Kondisi mesin perang kita rata-rata sudah usang dimakan usia. Justru itu, kita sungguh tak bisa menampik kenyataan bahwa kebutuhan tentang peremajaan peralatan militer ini amat mendesak. Padahal tantangan yang dihadapi TNI -- menjaga keamanan dan keutuhan wilayah negara -- tidak semakin ringan.

Kemajuan mutakhir teknologi mesin perang, patut kita akui, membuat ancaman ekternal terhadap keamanan dan keutuhan wilayah kita ini harus kita perhitungkan benar. Kita tak bisa berasumsi bahwa lingkungan eksternal akan terus bersahabat seperti sekarang ini -- betapapun soal itu sesungguhnya adalah harapan kita.

Dalam konteks itu, jelas kita tak bisa mengandalkan peralatan militer yang sudah uzur dan secara teknologi kini sudah "tak ada apa-apanya" lagi. Karena itu, mesin perang kita perlu diremajakan sesuai tingkat perkembangan mutakhir teknologi militer dunia.

Atas dasar itu pula, kita bisa memahami keputusan pemerintah mengenai pilihan dalam rangka pengadaan atau peremajaan peralatan militer ini. Pilihan tersebut jatuh terhadap pesawat tempur Sukhoi dan helikopter Mill buatan Rusia. Bahkan kita mendukung pilihan tersebut.

Itu bukan sekadar karena produk mesin perang buatan Rusia relatif bisa kita andalkan menurut tingkat kemajuan teknologi militer saat ini. Lebih dari itu, secara politis di pentas dunia internasional, keputusan itu juga menunjukkan independensi kita sebagai sebuah negara. Dengan membeli produk peralatan militer buatan Rusia, kita bisa tegas memperlihatkan sikap kita pada masyarakat dunia bahwa dalam pengadaan mesin perang kita tak bergantung terhadap negara tertentu.

Tetapi kita tak bisa memahami langkah yang ditempuh pemerintah dalam rangka pembelian empat unit pesawat Sukhoi dan dua unit helikopter Mill dari Rusia senilai 192,9 juta dolar AS ini. Tanpa bermaksud mendahului hasil telusuran Panja DPR tentang Sukhoi, kita sependapat dengan pendirian sejumlah kalangan bahwa dalam proses pembelian melalui pola imbal dagang itu pemerintah terindikasi melakukan pelanggaran prosedur menurut sudut kewenangan maupun keuangan.

Dari sudut kewenangan, seharusnya pengadaan peralatan militer adalah kewenangan Dephan. Tapi dalam kasus pembelian Sukhoi, kenapa pihak yang melakukan kontrak pembelian justru Perum Bulog? Kenapa Dephan bisa tidak tahu-menahu soal pembelian pesawat temput itu? Tidakkah itu aneh? Sejak kapan Bulog berwenang melakukan pengadaan peralatan militer?

Dari sudut keuangan, pembelian Sukhoi dan helikopter Mill dari Rusia ini juga tak kurang bermasalah. Betapa tidak, karena baru belakangan terungkap bahwa pemerintah berharap pendanaan untuk pengadaan pesawat militer itu lewat APBN. Padahal alokasi anggaran untuk itu jelas-jelas tidak ada. Lagi pula, DPR sendiri tak pernah diajak urun rembuk mengenai soal itu.

Sejauh yang kita tahu melalui berbagai keterangan sejumlah pejabat dalam sejumlah kesempatan, transaksi pengadaan Sukhoi dan Helikopter Mill itu dilakukan Bulog di bawah koordinasi Menperindag sesuai perintah presiden. Lalu, saat penandatanganan kontrak pembelian, Panglima TNI memang dilibatkan. Tapi kenapa Dephan, Depkeu, dan DPR seolah sengaja ditinggalkan? Ada apa di balik itu semua?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu pula yang kemudian mengundang curiga: jangan-jangan pengadaan Sukhoi hanya tameng, sementara tujuan sebenarnya adalah pemerintah membukakan peluang bagi pihak tertentu meraup keuntungan lewat mekanisme imbal-dagang.

Itu terasa makin beralasan karena, konon, imbal-dagang sejatinya tidak terkait dengan pembiayaan yang harus memanfaatkan dana APBN. Lagi pula, seperti kata Ketua Kadin Komite Rusia Setiawan Djody, Rusia sebenarnya tidak menyukai sistem barter atau imbal-dagang. Rusia, ujarnya, lebih suka pembelian langsung.

Berbagai kecurigaan macam itu tak harus tertoreh kalau saja proses pembelian pesawat Sukhoi dan helikopter Mill dari Rusia ini sejak awal benar-benar transparan. Tapi, agaknya, asas transparansi baru sebatas teori atau slogan. Pemerintah amat terkesan tak memiliki keinginan mengindahkan asas tersebut.

Kesan itu kian mengental setelah Menperindag Rini Suwandi seperti menghindari memberikan penjelasan kepada Panja Sukhoi di DPR. Padahal penjelasan Rini amat ditunggu karena dia merupakan tokoh penting dalam proses pembelian pesawat militer melalui imbang dagang dari Rusia ini.

Kenyataan itu jelas ganjil karena Rini selaku sosok yang lama berkecimpung di dunia swasta jelas mengerti betul makna transparansi ini. Dia juga tak perlu diingatkan mengenai apa yang dimaksud dengan good governance dan urgensinya. Tapi kenapa dia seperti tak hirau? Apakah itu pertanda bahwa pemerintah memang tidak memiliki karakter good governance? Jika demikian, kebijakan-kebijakan yang digariskan memang sulit merujuk pada keterbukaan dan kemaslahatan rakyat.***
Jakarta, Juli 2003

Tidak ada komentar: