10 Juli 2003

Pajak Valas

Sebagai obyek pajak, transaksi valuta asing (valas) memang amat menggiurkan. Betapa tidak, karena frekuensi maupun volume transaksi valas terbilang sangat tinggi. Pada tahun 2001, misalnya, rata-rata transaksi valas di pasar dunia mencapai sekitar 1,2 triliun dolar AS per hari.
Di dalam negeri sendiri, transaksi valas ini juga tak bisa dipandang remeh. Meski sulit memeroleh angka resmi, rata-rata transaksi harian valas di pasar dalam negeri jelas amat besar. Itu pula, tampaknya, yang mendorong Dirjen Pajak melontarkan gagasan tentang pajak atas transaksi valas. Kita serta-merta menangkap kesan bahwa di balik gagasan tersebut, Dirjen Pajak tergiur memanfaatkan transaksi valas untuk menambah penerimaan negara. Motif tersebut, di tengah tantangan yang kian menempatkan pajak sebagai sumber utama penerimaan negara, memang sungguh terasa beralasan.
Sebenarnya, gagasan tentang pengenaan pajak atas transaksi valas ini bukan soal baru. Bahkan pemerintah sendiri pernah meluncurkan kebijakan tersebut. Ketika krisis ekonomi-moneter sedang benar-benar menggila (1998), Menkeu Fuad Bawazier ketika itu menerbitkan kebijakan tentang pengenaan pajak penghasilan (PPh) atas pembelian valas. Dalam Kepmenkeu itu diputuskan bahwa setiap pembelian valas dikenai PPh 5 persen dari nilai bruto.
Namun karena tekanan Dana Moneter Internasional (IMF) yang nyata-nyata tidak setuju, kebijakan itu tak berumur panjang. Menkeu terpaksa mencabut keputusan tentang pengenaan PPh atas pembelian valas ini persis pada tanggal dinyatakan mulai berlaku (23 Maret 1998).
Tapi berbeda dengan motif yang disiratkan Dirjen Pajak saat ini -- pajak atas transaksi valas amat potensial menambah penerimaan negara --, kebijakan Menkeu ketika itu meluncurkan pengenaan PPh atas setiap pembelian valas justru dimaksudkan sebagai instrumen untuk mengendalikan stabilitas nilai tukar rupiah. Melalui kebijakan itu, pemerintah berupaya mengamankan sistem keuangan nasional dengan mengurangi volatilitas kurs rupiah yang kala itu habis-habisan digoyang aksi spekulasi para pemain pasar uang.
Tampaknya, gagasan tentang pengenaan pajak atas transaksi valas yang dilontarkan Dirjen Pajak sendiri tidak sampai merujuk pada upaya pemerintah mengamankan aksi spekulasi terhadap kurs rupiah. Gagasan itu lebih mencerminkan keinginan Dirjen Pajak untuk menangguk potensi menggiurkan penerimaan pajak dari setiap transaksi valas.
Apakah itu pertanda pemerintah menyadari bahwa pajak atas transaksi valas sulit diharapkan efektif mengendalikan stabilitas nilai tukar rupiah? Ataukah pemerintah kini sudah merasa yakin bahwa stabilitas nilai tukar rupiah sudah aman dari risiko transaksi jangka pendek yang pekat berbau spekulasi -- meski arus modal jangka pendek ke dalam negeri belakangan ini justru cenderung mengalir deras? Entahlah.
Yang pasti, sejumlah kalangan melihat bahwa pajak atas transaksi valas -- jika dimaksudkan sebagai instrumen untuk mengamankan kurs rupiah dari aksi kalangan spekulan -- niscaya akan sia-sia. Kebijakan tersebut hanya bisa efektif membatasi ruang gerak transaksi-transaksi valas yang bersipat jangka pendek jika diterapkan menyeluruh di berbagai belahan dunia. Kalau hanya diterapkan di Indonesia, kalangan pelaku pasar uang akan mudah berkelit. Dengan memasuki pasar derivatif melalui layanan asing, misalnya, mereka bisa tetap mempermainkan rupiah tanpa harus terjun langsung di pasar spot di dalam negeri.
Justru itu pula, di sisi lain, potensi penerimaan pajak yang diincar Dirjen Pajak pun malah tak sepenuhnya tersentuh. Bagaimana mungkin transaksi valas bisa dikenai pajak jika aktivitas itu sendiri tidak dilakukan para pemain di pasar spot dalam negeri. Kebijakan mengenakan pajak atas transaksi valas ini niscaya hanya mampu menyentuh pihak-pihak yang aktif menggunakan valas untuk kepentingan bisnis di sektor riil. Jajaran eksportir dan importir, misalnya, jelas akan menjadi pihak yang paling empuk terkena kebijakan itu.
Jika semata melihat perpektif jangka pendek, kenyataan itu memang tak bakal jadi soal. Dengan mengenakan pajak atas setiap transaksi valas, pemerintah bisa segera menangguk penerimaan pajak dalam jumlah yang boleh diandalkan lumayan signifikan.
Tetapi karena pihak yang terkena kebijakan itu cenderung terbatas di kalangan mereka yang aktif memanfaatkan valas untuk kepentingan bisnis di sektor riil, pajak atas transaksi valas ini serta-merta menjadi beban baru bagi dunia usaha. Biaya transaksi ekspor atau impor, misalnya, otomatis jadi meningkat.
Karena itu, pengenaan pajak atas transaksi valas ini akan terasa menjadi disinsentif bagi kegiatan investasi di dalam negeri. Padahal sekarang ini iklim investasi di negeri kita kalah atraktif dibanding di negara-negara tetangga karena sudah miskin insentif. Justru itu, kalau saja transaksi valas pun kemudian dikenai pajak, iklim investasi di negeri kita niscaya kian tak menarik. Bukankah dalam jangka menengah dan panjang kenyataan itu memukul sektor perpajakan sendiri?
Jakarta, 7 Oktober 2003


Tidak ada komentar: