15 Juli 2003

Persepsi Sektor Riil

Mengherankan! Sektor riil ternyata cenderung enggan menyerap kredit perbankan. Data di Bank Indonesia mengungkapkan bahwa sekitar Rp 80 triliun kredit yang sudah menjadi komitmen perbankan nasional tak kunjung dicairkan (undisbursed loan) oleh dunia usaha.

Kenyataan tersebut jelas mengundang tanya. Itu sekaligus menjungkirkan asumsi kita selama ini: bahwa sektor riil tak kunjung bergerak lagi karena perbankan pelit mengucurkan pinjaman. Bermacam dugaan sempat kita lekatkan terhadap sikap perbankan yang kita vonis pelit menggelontorkan kredit ini. Antara lain, karena perbankan masih trauma oleh risiko kredit macet yang nyaris membangkrutkan ekonomi nasional. Apalagi Bank Indonesia sudah menggariskan kebijakan baru bahwa rasio kecukupan modal (CAR) bank memperhitungan pula risiko pasar. Makin tinggi risiko pasar berkaitan dengan penyaluran kredit, CAR pun jadi menciut.

Di samping itu, kita juga berasumsi bahwa perbankan nasional lebih merasa aman menginvestasikan dana pihak ketiga pada instrumen-instrumen pasar modal -- setelah tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) turun drastis.

Tetapi asumsi-asumsi seperti itu ternyata tak sepenuhnya benar. Perbankan nasional tak kunjung menggelontorkan pinjaman ke sektor riil rupanya bukan semata karena mereka pelit atau terlampau berhati-hati. Sebab, di lain pihak, dunia usaha sendiri tampaknya memang enggan menyerap kredit.

Mungkin secara keseluruhan perbankan nasional belum benar-benar siap mengguyurkan kredit ke sektor riil -- meski mereka sebenarnya tak lagi memiliki cukup alasan untuk tetap bersikap pelit. Tapi jika sedikit komitmen mereka soal kucuran pinjaman ini ternyata tak kunjung dimanfaatkan oleh dunia usaha, tak bisa tidak, kita jadi dibuat terhenyak dan bertanya-tanya. Apa yang sebetulnya terjadi? Apa penjelasan yang bisa kita berikan?

Jika bank sudah setuju memberikan pinjaman, tapi ternyata pinjaman tersebut tak kunjung dicairkan oleh pengusaha bersangkutan, tentu ada yang tidak beres dalam sektor riil ini. Tapi, soalnya, apakah itu?

Dunia usaha adalah sebuah lingkungan yang sarat perhitungan dan kalkulasi. Berbagai variabel selalu ditakar atau ditimbang untuk menentukan laik-tidaknya sebuah peluang bisnis.

Mungkin dalam kerangka itu pula kenapa sektor riil ini cenderung enggan mencairkan pinjaman bank. Boleh jadi, menurut hitung-hitungan bisnis, pemanfaatan pinjaman bank saat ini memang belum tepat -- karena tidak menjanjikan keuntungan, di samping sarat risiko.

Kalau kita perhatikan, tingkat suku bunga pinjaman perbankan nasional kini rata-rata masih di atas 20 persen. Ini masih relatif tinggi. Mungkin benar, tingkat bunga pinjaman tetap bertengger di level tinggi ini karena cost of fund perbankan nasional telanjur bengkak.

Tapi itu sekaligus merupakan cerminan bahwa perbankan kita belum benar-benar efisien. Tak heran jika tingkat bunga SBI yang sudah turun amat signifikan pun sedikit sekali berpengaruh terhadap tingkat bunga pinjaman bank.

Bagi dunia usaha sendiri, tingkat bunga kredit bank langsung berkorelasi dengan tingkat keuntungan yang mungkin bisa diraih. Makin tinggi tingkat bunga pinjaman, tingkat keuntungan pun jadi makin kecil.

Itu pada gilirannya menentukan gairah berusaha. Jika peluang memperoleh keuntungan relatif besar demikian sulit dan amat kecil, gampang kita tebak bahwa gairah dunia usaha pun jadi melempem. Terlebih jika lingkungan eksternal tak kondusif atau bahkan mengancam kelangsungan usaha -- bahkan andai itu cuma sebuah persepsi yang belum tentu benar sekalipun.

Dalam konteks itu, perhelatan demokrasi pada tahun depan -- Pemilu 2004 -- mungkin diperhitungkan dunia usaha sebagai faktor eksternal yang membuat prospek bisnis jadi buram. Jika benar, itu jelas memrihatinkan. Bahwa penyelenggaraan pemilu membuat suhu politik nasional jadi meningkat, itu pasti. Namun suhu politik tidak harus selalu membuat roda kehidupan sosial-ekonomi menjadi abnormal.

Tetapi pengalaman kita menggelar pemilu di era reformasi ini -- Pemuli 1999 -- juga memang tidak cukup elok. Ketika itu, suhu politik yang memanas banyak melahirkan kekisruhan dan kekerasan. Bentrok fisik antarmassa pendukung parpol, terutama, merebak di banyak tempat.

Adalah kegagalan pemerintah jika dunia usaha kini waswas mengenai keamanan penyelenggaraan pemilu ini. Seharusnya pemerintah sejak jauh hari sudah berupaya meyakinkan masyarakat bahwa pemilu mendatang terjamin benar-benar tertib dan aman.

Namun, jujur saja, kita tak melihat langkah-langkah ke arah itu diayunkan pemerintah. Masyarakat tak memperoleh kepastian bahwa perhelatan pemilu mendatang tak bakal diwarnai kekisruhan dan kekerasan sosial.

Itu membuat gambaran ekonomi nasional ke depan ini jadi buram. Apalagi, di lain pihak, nasib ekonomi pascakontrak Dana Moneter Internasional (IMF) pun masih juga belum jelas. Memang, pemerintah sudah memiliki beberapa opsi tentang exit strategy ini. Namun berbagai opsi itu mungkin meyakinkan dunia usaha: bahwa ekonomi nasional pasca-IMF benar-benar aman alias tak bakal sarat gejolak.

Karena itu, jangan salahkan jika dunia usaha jadi cemas hingga ragu mengayun bisnis -- sampai-sampai mereka tak berani mencairkan kredit bank.***
Jakarta, 15 Juli 2003

Tidak ada komentar: