08 Juli 2003

Penyelesaian BLBI

Kita patut lega oleh kesepakatan pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan DPR tentang penyelesaian politis masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Bagaimanapun, kesepakatan tersebut memutus segala tarik-ulur yang begitu melelahkan sekaligus telah mengondisikan ketidakpastian mengenai penyelesaian masalah BLBI antara pemerintah dan BI ini.

Ketidakpastian itu merisaukan karena proses penyelesaian sudah berlangsung lama, yakni tiga tahun lebih. Selama itu, banyak waktu dan energi terkuras. Sementara, di lain pihak, beban BLBI kian menggunung dan amat membebani APBN.

Kini, dengan tercapainya kesepakatan politis penyelesaian masalah BLBI ini, tekanan pembayaran BLBI yang harus ditanggung APBN jelas berkurang. Tekanan itu sendiri, terutama pada tahun anggaran 2004, niscaya sungguh amat menyesakkan karena pada tahun depan kita tak lagi bisa menikmati fasilitas penjadwalan ulang (rescheduling) utang di forum Paris Club.

Forum tersebut, memang, sulit diharapkan memberikan lagi fasilitas rescheduling utang sebagai konsekuensi berakhirnya kontrak kerjasama pemerintah dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada akhir tahun ini.

Konsep penyelesaian BLBI senilai Rp 144,5 triliun yang disepakati pemerintah, BI, dan DPR itu sendiri merujuk pada penerbitan surat utang pemerintah dengan masa jatuh tempo 30 tahun dan berbunga 0,01 persen per tahun. Itu yang membuat tekanan beban penyelesaian BLBI terhadap APBN menjadi jauh berkurang. Untuk itu, ketiga lembaga tersebut menyepakati enam butir kerangka penyelesaian BLBI.

Pertama, berdasarkan audit BPK, dinyatakan bahwa kebijakan BLBI dirumuskan bersama pemerintah dan BI saat krisis.
Kedua, penyelesaian BLBI mengacu pada audit BPK senilai Rp 144,5 triliun. Sementara soal dana sebesar Rp 14,5 triliun masih menunggu hasil audit lebih lanjut BPK.

Ketiga, untuk meringankan APBN dan neraca BI, Komisi IX DPR menyarankan agar surat utang yang diterbitkan pemerintah kepada BI disetrukturisasi dalam jangka panjang. Keempat, untuk mencapai recovery rate yang optimal, pemerintah dan BI diminta melakukan kerjasama sebaik-baiknya.

Kelima, berkaitan dengan masalah hukum yang timbul akibat penyimpangan dalam penyaluran, penerimaan, dan penggunaan dana BLBI segera ditindaklanjuti aparat penegak hukum. Keenam, pemerintah dan BI diminta menindaklanjuti persetujuan ini berdasarkan kesepakatan formal antara pemerintah dan BI dalam 30 hari.

Namun Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Satrio Budihardjo Joedono berkeberatan terhadap penyelesaian politis masalah BLBI. Bagi dia, keputusan politis itu tidak adil karena membuat masyarakat terbebani, sementara konglomerat yang menjadi pemilik bank-bank penerima BLBI melenggang begitu saja. Benarkah?

Tanpa bermaksud membela pemerintah ataupun BI, pandangan itu menyesatkan. Bahwa surat utang yang dikeluarkan pemerintah berbunga sangat rendah dan bertempo lama sebagai konsep operasional penyelesaian masalah BLBI ini pada akhirnya akan menyedot penerimaan pajak, itu benar. Itu tidak keliru.

Tetapi itu adalah tidak benar bahwa sejumlah konglomerat eks pemegang bank-bank penerima BLBI lantas lepas tanggung jawab. Bukankah pemerintah sejak awal sudah bersikap bahwa mereka tetap harus harus mengembalikan dana BLBI yang dulu terkucur ke bank-bank mereka? Bahkan pemerintah sudah mengikat para konglomerat itu lewat perjanjian penyelesaian BLBI melalui skema Master of Settlemet and Acquisition Agreement (MSAA), Master of Refinancing Notes Issuance (MRNIA), ataupun melalui Akta Pengakuan Utang (APU).

Hanya, memang, sejauh ini implementasi perjanjian-perjanjian itu terkesan setengah hati. Pemerintah acap terkesan tak sanggup bersikap tegas dan lugas, kendati sejumlah konglomerat sudah jelas-jelas bersikap mbalelo alias bandel dalam menyelesaikan kewajiban mengembalikan BLBI ini.

Karena itu, pendapat bahwa penyelesaian masalah BLBI ini tidak adil hanya memiliki konteks kebenaran kalau pemerintah tetap tak kunjung mampu bersikap tegas dan lugas terhadap para konglomerat yang terikat perjanjian berskema MSAA, MRNIA, ataupun APU. Juga kalau hitung-hitungan tentang nilai aset yang diserahkan pada konglomerat itu sama sekali tak mencerminkan kondisi obyektif sesuai pasar.

Apakah sikap Joedono sendiri tentang penyelesaian politis masalah BLBI ini juga merupakan penolakan BPK sebagai institusi, ataukah sekadar ekspresi ketidakpuasan pribadi Joedono? Soal itu sungguh menuntut klarifikasi karena memiliki implikasi serius.

Kalau saja pernyataan keberatan yang dilontarkan Joedono tadi ternyata merupakan penolakan BPK sebagai institusi -- terlebih bila itu bersipat formal dan tertulis --, bisa-bisa solusi yang sudah disepakati pemerintah, BI, dan DPR itu jadi tak punya arti. Bukan tidak mungkin, pemerintahan baru kelak mementahkan kembali penyelesaian politis masalah BLBI ini karena mereka menilai solusi itu tidak sah justru karena tidak memperoleh opini positif BPK.

Jika itu benar terjadi, tidakkah masalah BLBI ini akan kian ruwet, semakin menjadi beban keuangan negara, dan bisa-bisa tak pernah bisa terlesaikan.***
Jakarta, 08 Juli 2003

Tidak ada komentar: