08 Juli 2003

UU AntiPencucian Uang

Sungguh menyedihkan bahwa kalangan anggota DPR ternyata tak menunjukkan kepedulian terhadap masalah amandemen UU No 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Draf perubahan undang-undang itu sudah diserahkan pemerintah ke DPR pada 9 Juni lalu. Tapi, seperti kata Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sejauh ini pihak DPR belum juga menunjukkan gelagat segera membahas amandemen UU No 15/2002 ini bersama pemerintah.

Kenyataan tersebut menyedihkan karena seperti pernah dipaparkan di ruangan ini, amandemen UU No 15/2002 sudah amat mendesak menurut sisi waktu. Itu karena Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) -- badan kerjasama internasional pemberantasan tidak pencucian uang -- menggariskan tenggat bahwa UU No 15/2002 harus sudah selesai diamandemen paling lambat September 2003.
Jika sampai tenggat itu UU No 15/2002 belum juga diamandemen, FATF serta-merta menjatuhkan sanksi internasional terhadap seluruh transaksi keuangan kita dengan negara lain (counter measures). Dalam konteks itu, FATF menilai kita tidak serius menanggulangi tidak kejahatan pencucian uang.

Sanksi itu sendiri sungguh gawat: setiap transaksi keuangan dari dan ke Indonesia akan dianggap sebagai transaksi yang mencurigakan (suspicious transaction). Itu akan meningkatkan biaya transaksi keuangan (high risk premium). Perbankan nasional, misalnya, selain harus membayar lebih tinggi premi risiko serta proses transaksi jadi amat berbelit dan lama, cabang-cabang bank devisa kita di mancanegara juga bisa-bisa ditutup.

Pada gilirannya, kenyataan seperti itu bakal membuat daya saing kita semakin ambrol hingga memukul kehidupan industri di dalam negeri.

Walhasil, dampak pengenaan sanksi FATF ini sungguh hebat. Justru itu, ekonom Faisal Basri pun menyatakan bahwa dengan peringkat kepercayaan B plus saat ini, counter measures itu bisa-bisa menyeret kita ke krisis ekonomi dan moneter jilid kedua. Padahal dampak krisis pertama saja belum benar-benar sirna.

Karena itu, kita kembali menghimbau DPR agar segera menggelar proses amandemen UU No 15/2002 ini. Memang, DPR kini begitu banyak menghadapi tugas yang juga harus segera ditangani dan diselesaikan. Tetapi menimbang konsekuensi serius andai hingga September 2003 UU No 15/2002 belum juga rampung diamandemen, kiranya pembahasan perubahan undang-undang tersebut amat beralasan memperoleh prioritas utama. Dengan demikian, dalam sisa waktu sebelum tenggat yang dipatok FATF berakhir, kita bisa merampungkan amandemen UU No 15/2002 ini.

Proses yang harus dilalui untuk itu sendiri, sebenarnya, tak terlampau menuntut perdebatan alot -- karena rasa-rasanya kita bisa sepakat bahwa beberapa klausul dalam UU No 15/2002 secara mendasar memang perlu diubah atau disempurnakan sesuai tuntutan FATF. Yang penting, kalangan anggota DPR memiliki kesadaran mengenai krisis waktu yang dihadapi dalam konteks amandemen UU No 15/2002 ini.

Patut kita akui, memang, beberapa klausul dalam UU No 15/2002 kurang tegas meneguhkan semangat dan sikap kita dalam memerangi praktik pencucian uang. Itu pula yang menorehkan penilaian FATF bahwa kita kurang sungguh-sungguh membangun rezim anti-money laundering.

Beberapa kelemahan mendasar yang melekat pada UU No 15/2002 ini -- notabene menjadi pijakan FATF dalam menuntut kita agar mengamandemen undang-undang tersebut, pertama, soal jumlah hasil tindak pidana pencucian uang yang hanya dibatasi sebesar Rp 500 juta. Itu dinilai FATF sungguh tidak efektif mencegah tindak pencucian uang -- dan karena itu mereka mendesak kita agar klausul tersebut dihapuskan.

Kedua, UU No 15/2002 tidak memasukkan klausul tentang tipping off, yaitu larangan bagi penyedia jasa keuangan memberi tahu nasabah tentang laporan transaksi keuangan mencurigakan yang terkait dengan nasabah tersebut. Itu, bagi FATF, sama saja dengan memberi peluang bagi nasabah pelaku tindak pencucian uang untuk mencari jalan agar tak terkena jerat hukum.

Ketiga, UU No 15/2002 juga masih mendefinisikan transaksi keuangan yang mencurigakan secara sempit. Definisi tersebut tidak mencakup transaksi keuangan maupun percobaan transaksi keuangan dengan menggunakan dana yang diduga hasil tindak pidana.

Keempat, jangka waktu kewajiban penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan oleh penyedia jasa keuangan yang ditetapkan undang-undang terlalu lama, yaitu 14 hari. Itu, bagi FATF, bisa menyulitkan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

Tidakkah keempat klausul itu memang masuk akal diamandemen? Justru itu, kita jelas tak harus berdebat berlarut-larut mengenai soal itu.

Kalau saja kalangan anggota DPR memiliki kesadaran seperti itu, kita optimis bahwa dalam sisa waktu yang sudah mepet ini amandemen UU No 15/2002 bisa diselesaikan. Dengan demikian, kita masih bisa selamat dari risiko serius akibat sanksi yang dijatuhkan FATF.

Tinggal kini soalnya, adakah kesadaran dan kepedulian DPR mengenai urgensi amandemen UU No 15/2002 ini?***
Jakarta, Juli 2003

Tidak ada komentar: