28 Juni 2003

Haruskah Rupiah Dibendung?

Keperkasaan rupiah sebenarnya amat kita nantikan. Nilai tukar rupiah yang kokoh-kuat sungguh kita impikan. Kita sudah merasakan betapa pahit dampak yang kita pikul akibat anjloknya kurs rupiah ini, khususnya terhadap dolar AS. Kita terjerembab ke dalam krisis ekonomi -- notabene hingga kini belum juga sirna -- tak lain akibat kurs rupiah rontok. Bahkan industri perbankan kita nyaris bangkrut karena dipicu oleh hancurnya nilai tukar rupiah kita ke level yang sungguh tidak masuk akal pada 1998 silam.

Singkat kata, kerontokan nilai tukar rupiah sungguh pahit dan melahirkan beban berkepanjangan. APBN, misalnya, entah kapan bisa benar-benar lepas dari beban utang berupa obligasi rekap bank. Jumlah utang luar negeri kita juga terasa lebih menghimpit-menyesakkan selama kurs rupiah menapak di level rendah.

Karena itu, ketika sejak triwulan keempat tahun lalu rupiah menunjukkan tendensi menguat, kita merasa lega. Terlebih penguatan itu terus berlangsung dan kian meyakinkan. Hanya dalam tiga pekan terakhir, misalnya, kurs rupiah sudah menguat hampir 5 persen dari Rp 8.675 menjadi Rp 8.325 per dolar pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu.

Kenyataan itu serta-merta menerbitkan harapan-harapan yang berujung pada satu kesimpulan bahwa beban hidup kita bisa menjadi lebih ringan. Kurs rupiah yang perkasa sangat mungkin membuat pemerintah tak merasa perlu menaikkan tarif dasar listrik ataupun harga bahan bakar minyak (BBM). Harga aneka aneka barang dan jasa pun -- terutama yang relatif banyak terkait dengan mata uang dolar AS -- bisa turun menjadi relatif lebih murah.

Di sisi lain, dalam skala lebih luas, penguatan rupiah ini tak terkecuali bisa membuat beban pemerintah jadi jauh berkurang. Nominal rupiah yang harus dikumpulkan untuk mencicil utang luar negeri, misalnya, jelas menyusut. Di sisi lain, beban bunga obligasi rekap juga sangat mungkin jadi berkurang dalam jumlah signifikan -- karena tingkat sukubunga terseret turun.

Justru itu, nilai defisit APBN pun jelas jadi menyempit. Ini, pada gilirannya, membukakan harapan: pemerintah menggelar program-program perbaikan kesejahteraan sosial.

Boleh jadi, rupiah masih akan lebih perkasa lagi. Penguatan kurs tampaknya memang belum akan berhenti. Betapa tidak, karena sejumlah faktor masih membukakan ruang ke arah itu. Sebut saja obligasi pemerintah yang menawarkan tingkat keuntungan menggiurkan. Dengan tingkat yield sebesar 13-an persen, bagaimanapun kalangan investor asing sulit tidak tergoda untuk tidak memindahkan investasi mereka dari dolar ke rupiah. Terlebih, di sisi lain, peringkat utang pemerintah dalam denominasi rupiah juga membaik.

Entah sampai level berapa keperkasaan rupiah ini akan terjadi. Yang pasti, level nilai tukar yang sekarang ini belum lagi menembus Rp 8.000 per dolar saja sudah membuat sejumlah kalangan berteriak. Bagi mereka, keperkasaan rupiah justru merugikan: daya saing komoditas ekspor mereka melemah.

Memang, penguatan kurs rupiah membuat aneka komoditas ekspor kita menjadi lebih mahal. Padahal kondisi ekonomi AS maupun Jepang yang menjadi pasar utama ekspor kita sekarang ini justru sedang tidak kondusif. Jadi, terutama bagi eksportir -- terlebih mereka yang banyak menggunakan bahan baku impor, semisal kalangan pengusaha tekstil dan produk tekstil -- penguatan rupiah terasa menjadi petaka.

Tapi apakah level nilai tukar rupiah kini sudah benar-benar membuat aneka komoditas ekspor kita kehilangan daya saing? Haruskah penguatan kurs rupiah ini sekarang sudah saatnya dihambat atau bahkan dihentikan sebagaimana penuturan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Anwar Nasution?

Jujur saja, kita tidak setuju terhadap gagasan seperti itu. Kita sungguh tak rela jika impian kita selama ini -- rupiah benar-benar perkasa -- harus kita redupkan lagi semata agar aneka komoditas ekspor kita tetap berdaya saing. Terlebih tak ada data meyakinkan yang memperlihatkan bahwa kinerja ekspor kita berbanding lurus dengan nilai tukar rupiah. Ketika kurs rupiah benar-benar terpuruk, buktinya, kinerja ekspor tak serta-merta melonjak luar biasa. Kinerja ekspor kita ketika itu tetap dalam taraf biasa-biasa saja.

Walhasil, tampaknya, nilai tukar rupiah adalah satu soal. Sementara daya saing komoditas ekspor adalah soal lain. Karena itu, gagasan untuk menahan laju penguatan kurs rupiah sekarang ini sungguh tak relevan. Apa yang beralasan dan amat urgen dilakukan pemerintah dan dunia usaha justru meningkatkan efisiensi dan produktivitas industri. Patut kita akui, proses produksi industri kita amat tindak menunjang daya saing komoditas ekspor. Sebut saja aneka pungutan -- entah resmi ataupun liar -- sudah lama menjadi benalu yang amat membebani.

Soal penguatan kurs rupiah sendiri biar saja bergerak alamiah. Tapi Bank Indonesia dan pemerintah perlu tetap waspada sekaligus menyiapkan langkah-langkah antisipasi: karena keperkasaan rupiah ini lebih banyak lantaran arus masuk dana asing dalam jumlah besar-besaran tertuju ke investasi dalam portofolio. Kita tahu, itu amat rentan: sewaktu-waktu dana bisa ditarik kembali dan arus pun seketika berbalik arah menjadi amat menekan atau bahkan merontokkah rupiah.***

Jakarta, 28 Mei 2003

Tidak ada komentar: