24 Juni 2003

SBI dan Intermediasi Bank

Mengherankan bahwa penurunan tingkat diskonto (bunga) Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tak serta-merta membuat perbankan nasional tergerak menurunkan sukubunga pinjaman. Ini adalah anomali yang mengingkari teori dan keyakinan selama ini. Meski sukubunga SBI terus bergerak turun signifikan -- bahkan sampai menembus level di bawah 10 persen seperti hasil lelang SBI pada pekan lalu -- bunga pinjaman di perbankan kita ternyata tetap terpatok di kisaran 17-19 persen per tahun. Karena itu pula, fungsi intermediasi perbankan belum juga membaik. Tetap nyaris macet.

Ketika sukubunga SBI membumbung di level 17-an persen, banyak kalangan menyebut itu sebagai sumber penyebab sektor riil kesulitan memperoleh guyuran kredit perbankan -- sebagai akibat fungsi intermediasi perbankan kita yang nyaris tak berjalan. Menurut mereka, tingkat bunga SBI membuat kalangan perbankan tak tergerak mengucurkan kredit ke sektor riil. Mereka lebih merasa aman dan diuntungkan memutar dana masyarakat di instrumen SBI.

Dengan kata lain, ketika itu banyak kalangan menilai bahwa tingginya tingkat bunga SBI menjadi disinsentif bagi pengucuran kredit perbankan ke sektor riil. Karena itu, mereka mendesak Bank Indonesia (BI) agar perlahan-lahan melonggarkan likuiditas dengan menurunkan sukubunga SBI.

Namun setelah BI memenuhi desakan itu -- bahkan perkembangan terakhir tingkat bunga SBI sampai tersuruk di level di bawah 10 persen --, ternyata perbankan nasional tetap saja tak juga menurunkan bunga pinjaman. Fungsi intermediasi perbankan masih saja tak pulih. Sektor riil pun, karena itu, belum bisa kita harapkan segera bergerak kembali secara normal dan optimal.

Berbagai analisis sudah dibuat sejumlah pihak mengenai kenyataan itu. Masing-masing berupaya memberi penjelasan menurut perspektif teknis-ekonomis perbankan maupun nonteknis. Beberapa bankir, misalnya, menyebutkan bahwa cost of fund perbankan nasional telanjur tinggi. Dana mahal itu, menurut mereka, yang membuat perbankan tak bisa segera menurunkan tingkat bunga pinjaman seiring penurunan sukubunga SBI.

Di lain pihak, sejumlah pengamat ekonomi menyebutkan bahwa faktor yang membuat perbankan bergeming mengenai tingkat bunga pinjaman ini adalah investasi di pasar modal yang kini menggairahkan. Jadi, bagi perbankan saat ini, produk-produk investasi yang ditawarkan di pasar modal -- terutama obligasi pemerintah -- merupakan alternatif setelah sukubunga turun signifikan.

Sementara itu, analisis nonteknis menyatakan bahwa perbankan nasional masih trauma oleh risiko kredit yang membuat sejumlah bank tempo hari masuk perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) -- bahkan tak sedikit pula yang terkena pembekuan izin operasi atau terlikuidasi. Mereka tak mau terjerembab pada risiko serupa. Terlebih BI menggariskan bahwa mulai akhir tahun ini penghitungan rasio kecukupan modal (CAR) bank memperhitungkan faktor risiko pasar. Meski untuk tahap awal diterapkan sebatas pada bank-bank yang relatif sudah siap, kebijakan tersebut jelas membuat kalangan perbankan harus ekstra hati-hati dalam menghadapi risiko -- termasuk dalam ekspansi kredit.

Ada pula analisis yang menyebutkan bahwa kapasitas sektor riil sendiri sangat terbatas. Bahkan, konon, kredit yang sudah memperoleh persetujuan bank pun banyak yang tak kunjung dicairkan. Investor ragu merealisasikan rencana bisnis karena situasi politik di dalam negeri tak lama lagi memanas seiring pelaksanaan Pemilu 2004. Karena itu, menurut analisis ini, secara kondisional bank-bank tak bisa menjalankan fungsi intermediasi. Tak heran bahwa penurunan bunga SBI pun nyaris tak mampu memberi dampak berarti terhadap tingkat bunga pinjaman maupun ekspansi kredit perbankan.

Berbagai analisis soal anomali dampak penurunan sukubunga SBI terhadap tingkat bunga pinjaman perbankan ini memang terkesan masuk akal. Analisis teknis-ekonomis maupun nonteknis perbankan memiliki pijakan rasional yang terkesan memberi pembenaran mengenai anomali itu.

Tapi, jujur saja, berbagai analisis itu tetap tak terlampau meyakinkan. Kita masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut dan mendalam tentang masalah sebenarnya yang telah melahirkan anomali mengenai dampak penurunan sukubunga SBI terhadap tingkat bunga pinjaman perbankan ini.

Karena itu pula, kita menyambut baik niat BI melangsungkan pertemuan khusus dengan jajaran bankir nasional -- khusus dalam rangka membahas anomali itu. Kita berharap, pertemuan tersebut benar-benar gamblang mengurai dan menguak something wrong yang membuat tingkat bunga pinjaman bank tak kunjung turun.

Selebihnya, tentu, kita juga berharap pertemuan itu mampu mendorong perbankan nasional serta-merta tergerak melakukan fungsi intermediasi hingga tahap optimal. Dengan demikian, sektor riil bisa segera bergerak normal. Ini penting dan amat strategis guna mendorong roda pertumbuhan ekonomi berputar lebih kencang dan tak semata bertumpu pada sektor konsumsi seperti selama ini. Pertumbuhan ekonomi dalam level tinggi dan mendasar adalah kebutuhan kita guna menjawab masalah pengangguran yang kini sudah amat merisaukan itu.***

Jakarta, 24 Juni 2003

Tidak ada komentar: