21 Juni 2003

Alotnya Penyelesaian BLBI

Penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI) masih saja berlarut-larut. Solusi yang sejak lama kita nantikan tak kunjung tertorehkan. Kita dihadapkan pada kenyataan bahwa upaya-upaya ke arah penyelesaian itu tak kunjung mencapai titik akhir. Bahkan tahapan-tahapan tertentu yang sudah dicapai dan menunjukkan langkah maju pun -- notabene telah menguras begitu banyak tenaga, waktu, dan pikiran --, belakangan mendadak menjadi mentah lagi.

Dengan kata lain, masalah BLBI antara pemerintah dan BI ini kembali ke titik nol. Justru itu, langkah-langkah yang selama ini sudah ditempuh pun -- melibatkan pemerintah, BI, dan DPR -- nyaris jadi sia-sia. Percuma. Mubazir. Langkah-langkah itu hanya menorehkan keheranan sekaligus kebingungan di kalangan rakyat banyak.

Kita sebagai rakyat memang tak benar-benar bisa memahami bahwa penyelesaian masalah BLBI antara pemerintah dan BI ini tak kunjung bisa tuntas. Kita hanya bisa bertanya-tanya: kok langkah ke arah itu begitu alot, bahkan bisa mentah kembali. Padahal, tempo hari, kita memperoleh kesan bahwa penyelesaian masalah tersebut hanya tinggal ketok palu di DPR.

Kita juga dibuat bingung oleh berbagai angka yang bermunculan dalam setiap perdebatan mengenai pembahasan langkah penyelesaian masalah BLBI antara pemerintah dan BI ini. Kita menjadi bingung karena kita acap kehilangan atau tak bisa menemukan konteks mengenai angka-angka itu. Kalaupun konteks tersebut kita dapati, kita tak selalu bisa memahami tautan serta implikasi politis-ekonomis ke belakang ataupun ke depan.

Meski demikian, itu tadi, kita sempat dihadapkan pada gambaran bahwa pembahasan mengenai penyelesaian masalah BLBI ini segera mencapai titik akhir. Itu terutama ketika tahapan pembahasan di DPR hanya tinggal menyepakati angka yang masing-masing menjadi kewajiban pemerintah dan BI.

Dalam konteks itu, sesuai hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tiga pihak yang terlibat -- pemerintah. BI, dan DPR -- sudah menyepakati bahwa total dana BLBI ini bernilai Rp 144,5 triliun. Konon, BI sudah mengalihkan hak tagih (cessie) seluruh dana BLBI senilai Rp 144,5 triliun itu kepada pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Untuk itu, santer disebut-sebut bahwa penerbitan surat utang negara (SUN) menjadi alternatif konsep penyelesaian.

Tapi kita tak pernah mengira bahwa justru di saat yang seharusnya menjadi titik akhir solusi penyelesaian masalah BLBI antara pemerintah dan BI itu tiba-tiba muncul angka pengganjal Rp 115 triliun. Angka tersebut dilontarkan DPR -- konon berdasar data yang disajikan BPK -- sebagai aset berjaminan yang diserahkan BI ke BPPN. Atas dasar itu pula, DPR mengklaim BI masih memiliki utang pada pemerintah senilai Rp 29,4 triliun.

Konon, BI tak bisa terima klaim tersebut. Terlebih, konon pula, BI sudah dirugikan oleh sikap DPR yang tak mengakui -- karena tak pernah memberikan persetujuan -- obligasi yang diterbitkan BI pada tahun 2000 silam. Padahal, menurut klaim BI, penerbitan obligasi itu tak lain sebagai bagian beban yang mereka tanggung dalam rangka burden sharing masalah BLBI dengan pemerintah.

Tapi di lain pihak, BPK sendiri disebut-sebut menyatakan bahwa nilai aset berjaminan yang diterima BPPN itu bernilai Rp 129,4 triliun. Walhasil, jika demikian, terdapat selisih angka BLBI sebesar Rp 15,1 triliun. Angka tersebut segera mengundang tanya: ke mana atau menjadi tanggung jawab siapa?

Sementara itu, di lain kesempatan, pihak BPPN pernah menyebutkan bahwa mereka menggenggam cessie BLBI yang tak jelas senilai Rp 11,8 triliun. Itu tak jelas, menurut mereka, karena aset tetap dipegang BI. Sementara cessie senilai Rp 11,8 triliun itu hanya berupa promes.

Kita percaya bahwa masing-masing pihak yang selama ini intens terlibat dalam proses pembahasan soal penyelesaian masalah BLBI ini -- termasuk BPK -- memiliki itikad baik: bahwa kesepakatan yang tertorehkan harus benar-benar merupakan solusi terbaik dan bersipat win-win bagi pemerintah maupun BI. Kita juga tak meragukan kapasitas ataupun kapabilitas masing-masing pihak dalam mencari formula penyelesaian yang bersipat win-win ini.

Tetapi kita juga beralasan mengingatkan bahwa solusi win-win acap menuntut kompromi-kompromi. Barangkali soal itu selama ini kurang memperoleh tempat dalam rangka pembahasan mengenai penyelesaian masalah BLBI ini. Mungkin masing-masing pihak -- entah sadar ataupun tidak -- menganggap pihak lain dengan sikap curiga, penuh prasangka, atau bahkan divonis memiliki agenda kepentingan tersendiri.

Jika benar itu yang terjadi, kita bisa paham bahwa pembahasan masalah BLBI ini begitu alot dan seperti hanya berjalan di tempat. Soal angka-angka yang terus bermunculan dan membuat rakyat banyak jadi bingung, barangkali, hanya alat yang digunakan masing-masing pihak untuk mencurigai atau memvonis pihak lain.***
Jakarta, Juni 2003

Tidak ada komentar: