20 Juni 2003

Ancaman FATF

Ancaman Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) tak boleh dipandang remeh. Jika mereka sampai menjatuhkan sanksi berupa counter measures -- karena kita mereka nilai tidak serius menanggulangi tidak kejahatan pencucian uang (money laundering) -- niscaya kita bisa dibuat kelimpungan: kegiatan ekspor-impor terganggu, atau bahkan mungkin macet.

Betapa tidak, karena mereka bisa membuat L/C yang diterbitkan perbankan nasional ditolak alias tidak laku sebagai sarana transaksi bisnis internasional -- khususnya di lingkungan negara-negara anggota FATF. Begitu juga transfer ataupun keberadaan dana kita di bank-bank di mancanegara juga dibuat tak bisa kita tarik.

Di sisi lain, biaya pendanaan yang berasal dari luar negeri juga jadi berlipat-lipat karena Indonesia dianggap memiliki tingkat risiko tinggi. Justru itu, pemerintah niscaya jadi kesulitan memperoleh bantuan keuangan internasional -- entah bilateral ataupun multilateral. Belum lagi kalangan investor internasional juga sangat boleh jadi dibuat jadi enggan masuk ke Indonesia. Itu bukan saja karena mereka berisiko terkena sanksi FATF, melainkan juga karena pemerintah mereka kemungkinan besar mengeluarkan larangan bagi mereka berinvestasi di Indonesia.

Singkat kata, jika FATF sampai menjatuhkan sanksi terhadap kita, kegiatan ekonomi-bisnis kita bisa benar-benar terisolasi. Kita tak akan lagi diterima sebagai warga komunitas ekonomi dunia. Jadi, sekali lagi, jangan anggap enteng ancaman FATF berkaitan dengan keseriusan kita mencegah dan menanggulangi tindak pencucian uang ini.

Memang, kita sudah memiliki UU No 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Tapi selaku badan kerjasama internasional pemberantasan tindak pencucian uang, FATF menilai bahwa undang-undang tersebut -- notabene kelahirannya tak lain atas tekanan FATF pula -- memiliki sederet kelemahan. Itu, antara lain, karena UU No 15/2002 membatasi jumlah hasil tindak pidana pencucian uang. Batasan jumlah yang ditetapkan undang-undang, yaitu senilai Rp 500 juta, dinilai FATF tidak efektif -- dan karena itu mereka mendesak kita agar klausul tersebut dihapuskan.

Di lain pihak, UU No 15/2002 juga tidak memasukkan klausul tentang tipping off, yaitu larangan bagi penyedia jasa keuangan memberi tahu nasabah tentang laporan transaksi keuangan mencurigakan yang terkait dengan nasabah tersebut. Itu, bagi FATF, sama saja dengan memberi peluang bagi nasabah pelaku tindak pencucian uang untuk mencari jalan agar tak terkena jerat hukum.

Kelemahan lain, UU No 15/2002 juga masih mendefinisikan transaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transaction) secara sempit. Definisi tersebut tidak mencakup transaksi keuangan maupun percobaan transaksi keuangan dengan menggunakan dana yang diduga hasil tindak pidana.

FATF juga menilai, jangka waktu kewajiban penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan oleh penyedia jasa keuangan yang ditetapkan undang-undang terlalu lama, yaitu 14 hari. Itu, bagi FATF, bisa menyulitkan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

Kelemahan-kelemahan itu pula yang membuat FATF berkesimpulan bahwa Indonesia tidak serius menanggulangi tindak pidana pencucian uang. Justru itu, mereka memasukkan Indonesia dalam daftar negara yang kurang kooperatif terhadap upaya pencegahan ataupun penangulangan praktik money laundering ini.

Dalam kaitan itu, FATF meminta Indonesia mengamandemen UU No 15/2002 menjadi perangkat hukum yang benar-benar tegas dan lugas terhadap berbagai bentuk tindak pencucian uang melalui berbagai lembaga keuangan di dalam negeri. Mereka sangat menekankan agar amandemen UU No 15/2002 ini tak memberi ruang sedikit pun bagi praktik money laundering ini.

Untuk itu, FATF membuat tenggat: proses amandemen UU No 15/2002 harus tuntas paling lambat September 2003. Jika tidak, itu tadi, mereka mengancam menjatuhkan sanksi yang jelas bisa membuat kegiatan ekonomi-bisnis kita dalam percaturan internasional jadi kelimpungan.

Namun, soalnya, tenggat yang diberikan FATF bagi kita untuk mengamandemen UU No 15/2002 ini demikian mepet: efektif hanya sekitar 3 bulan. Mengingat setumpuk pekerjaan rumah yang juga amat mendesak ditangani DPR -- terutama berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu 2004 --, agak musykil proses amandemen itu bisa tuntas sesuai tenggat FATF. Bahkan, boleh jadi, hingga tenggat itu terlewati pun, UU No 15/2002 ini belum juga tersentuh DPR.

Lalu bagaimana? Tak bisa lain, agaknya, pemerintah dan DPR perlu berdiri dalam satu sikap: amandemen UU No 15/2002 harus menjadi prioritas utama. Kedua belah pihak juga perlu sependirian bahwa proses amandemen itu harus bisa berlangsung cepat hingga tak melewati tenggat yang dipatok FATF. Selebihnya, hasil amandemen itu sendiri harus terjamin memenuhi tuntutan FATF.

Jika pemerintah dan DPR tak memiliki komitmen seperti itu, sanksi FATF niscaya harus kita pikul. Padahal, seperti sudah disinggung di muka, itu bisa mematikan kehidupan ekonomi kita.***

Jakarta, 20 Juni 2003

Tidak ada komentar: