27 Juni 2003

Gijzeling, Efektifkah?

Di atas kertas, Surat Keputusan Bersama (SKB) Menkeu-Menkeh/HAM tentang sanksi paksa badan (gijzeling) terhadap para pengemplang pajak kelas kakap memang bisa diharapkan mampu menyelamatkan potensi penerimaan pajak. Pemerintah, dalam konteks ini, bisa langsung menjebloskan para pengemplang pajak yang jelas-jelas tidak kooperatif itu -- tak kunjung membayar kewajiban pajak mereka -- ke rumah tahanan negara.

Sanksi itu sendiri tak serta-merta menghapuskan kewajiban mereka melunasi tagihan pajak pada negara. Pengemplang pajak yang tak kooperatif ini bisa terus meringkuk di bui sampai kewajiban pajak mereka lunas melalui penyitaan dan pelelangan harta-benda mereka.

Kita berasumsi, sanksi seperti itu bisa membuat para pengemplang pajak jadi merasa miris. Bagi mereka yang pasti punya sosok istimewa di tengah masyarakat ini, meringkuk di bui bukan saja amat tidak nyaman, melainkan terutama meruntuhkan reputasi atau kredibilitas mereka. Karena itu, kita meyakini bahwa SKB Menkeu-Menkeh/HAM tentang gijzeling ini bisa memaksa mereka berubah sikap: jadi patuh memenuhi kewajiban pajak kepada negara.

Walhasil, tumpukan tunggakan pajak pun bisa diharapkan cepat tuntas terselesaikan. Selama ini, penyelesaian tunggakan pajak ini demikian alot dan tak kunjung signifikan tertangani. Meski Ditjen Pajak sudah melakukan berbagai upaya -- mulai menerbitkan surat teguran, surat paksa, surat perintah penyitaan, juga mengeluarkan kebijakan cegah dan tangkal (cekal) bepergian ke luar negeri -- tunggakan pajak tetap saja menggunung. Upaya-upaya itu nyaris tak membuahkan hasil.

Sekarang ini saja, tunggakan pajak ini bernilai sekitar Rp 17,1 triliun. Itu hanya berkurang sedikit dibanding posisi tahun lalu sebesar Rp 17,3 triliun. Bahkan dibanding posisi tahun 2001 yang bernilai 13,3 triliun, jumlah tunggakan pajak sekarang ini justru membengkak.

Itu bisa terjadi karena sejumlah wajib pajak -- notabene tergolong kelas kakap, yakni memiliki kewajiban pajak di atas Rp 1 miliar -- terkesan tak takut mengemplang pajak. Mereka "cuek bebek" alias sama sekali tak kooperatif terhadap upaya-upaya penagihan yang dilakukan aparat. Menurut catatan Ditjen Pajak, mereka yang "cuek bebek" ini sekarang berjumlah 39 wajib pajak -- termasuk 8 penanggung pajak ekspatriat alias berkewarganegaraan asing.

Namun mungkin fenomena "cuek bebek" sejumlah wajib pajak kelas kakap yang melahirkan tunggakan pajak demikian menggunung itu bukan semata karena sikap bandel mereka. Boleh jadi juga, fenomena itu terkait pula dengan sikap-tindak oknum aparat pajak sendiri. Mungkin aparat bersikap lembek, ragu, atau memang tidak fight dalam melakukan penagihan -- hingga tunggakan pajak pun tetap saja menggunung. Bahkan bukan mustahil pula, fenomena "cuek bebek" itu merupakan produk kolusi aparat dengan kalangan wajib pajak kelas kakap ini.

Kita sama sekali tak bermaksud menuduh atau apriori terhadap sikap-tindak aparat pajak, terutama dalam menguber tunggakan pajak di kalangan wajib pajak kakap. Tetapi, betapapun, di negeri yang sudah telanjur dikenal amat korup ini, kemungkinan aparat main mata atau berkolusi dengan wajib pajak sungguh tak bisa kita tepiskan.

Karena itu pula, seperti kata Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, efektivitas SKB Menkeu-Menkeh/HAM tentang sanksi gijzeling terhadap para penunggak pajak kelas kakap yang tidak kooperatif ini amat tergantung komitmen dan integritas para pejabat bersangkutan. Andai saja mereka bersikap lembek, ragu, atau enggan menerapkan sanksi gijzeling, SKB Menkeu-Menkeh/HAM niscaya sia-sia saja: tak banyak memberi manfaat terhadap penyelamatan potensi penerimaan pajak.

Terlebih jika SKB itu malah dimanfaatkan oknum aparat sebagai sarana yang menaikkan "posisi tawar" mereka dalam bermain mata dengan pengemplang pajak, masalah tunggakan pajak tak akan pernah tuntas terselesaikan. Padahal, kita tahu, penerimaan pajak kian menjadi andalan pemerintah.

Di tengah kenyataan bahwa jumlah utang luar negeri maupun dalam negeri sudah teramat menumpuk, pemerintah mau tak mau harus memanfaatkan instrumen pajak sebagai sumber utama penerimaan negara. Apalagi aset-aset berharga yang bisa dijual -- entah aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ataupun divestasi badan usaha milik negara (BUMN) -- sudah banyak berkurang.

Adalah jelas tidak adil jika dalam rangka menggejot penerimaan dalam negeri ini, pemerintah terus asyik seperti orang "berburu di kebun binatang", sementara di lain pihak tunggakan pajak tak kunjung bisa ditangani hingga tuntas.

Karena itu, SKB Menkeu-Menkeh/HAM niscaya harus benar-benar efektif. Untuk itu, berbagai peluang yang memungkinkan oknum aparat bermain mata dengan pengemplang pajak harus bisa disingkirkan. Dalam konteks ini, transparansi pada berbagai tahapan pelaksanaan SKB sungguh menjadi kebutuhan. Mereka yang masuk daftar pengemplang pajak pun amat beralasan dibeberkan kepada publik. Dengan demikian, berbagai pihak bisa melakukan fungsi kontrol terhadap penanganan masalah tunggakan pajak ini.***

Jakarta, 27 Juni 2003

Tidak ada komentar: