26 Agustus 2003

Penjadwalan Utang

Dari segi urgensi, meminta penjadwalan ulang (resheduling) utang luar negeri kepada para kreditur sebenarnya amat beralasan. Yakni agar anggaran publik dalam RAPBN tidak banyak terkuras oleh pembayaran utang. Dengan itu pula, RAPBN bisa diharapkan mengucurkan berkah ekonomi yang akan sangat berguna bagi kehidupan rakyat banyak -- entah berupa subsidi ataupun kegiatan pembangunan. Dalam bahasa formal dan keren, rescheduling utang sangat memungkinkan membuat RAPBN mampu menghembuskan stimulus ekonomi.

Stimulus ekonomi memang amat diperlukan rakyat banyak karena kehidupan mereka belum juga menunjukkan tren membaik. Rakyat masih saja terbelenggu hidup serba susah, pahit, dan keras. Pengangguran, misalnya, tiap hari malah kian menggunung.

Dalam kondisi demikian, kegiatan investasi belum banyak memberi makna. Kegiatan investasi di dalam negeri, sejauh ini, tetap saja lesu. Kalangan pemilik modal terkesan enggan masuk ke sini. Bahkan mereka yang sudah berkiprah pun amat sedikit yang tergerak menambah investasi.

Mungkin itu karena iklim investasi di negeri kita ini sudah tak mengundang gairah lagi. Atau mungkin pula karena kalangan pemilik modal masih menunggu lahirnya pemerintahan baru hasil Pemilu 2004. Yang pasti -- ini menarik sekaligus memrihatinkan -- kalangan investor makin memerlihatkan gelagat tak betah lagi berusaha di sini. Satu-dua investor bahkan sudah tandas memutuskan menutup usaha di sini dan memindahkannya ke mancanegara.

Jadi, mengatasi kehidupan rakyat yang kian berat dan keras ini, peran pemerintah melalui mekanisme anggaran sangat diharapkan. Karena itu, sekali lagi, RAPBN sungguh dituntut mampu mengalirkan berkah ekonomi bagi rakyat banyak. Untuk itu, alokasi anggaran pembangunan berupa anggaran pendidikan, kesehatan, pangan, investasi umum, atau subsidi untuk kelompok miskin harus lumayan besar.

Tapi apa yang terjadi, APBN justru banyak tersedot oleh pengeluaran rutin -- terutama kombinasi pembayaran utang pokok dan bunganya, plus pembayaran utang dalam negeri. Bahkan dalam RAPBN 2004, alokasi pembayaran pokok utang dibuat berlipat menjadi Rp 46 triliun dibanding APBN tahun berjalan senilai Rp 17 triliun.

Karena itu, ihwal rescheduling utang pun kian relevan dan makin urgen dimintakan pemerintah kepada para kreditur. Tak kurang dari fraksi-fraksi di DPR sendiri merasa perlu menekankan soal itu.

Memang, sebagai konsekuensi kita memilih mengakhiri kerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada akhir tahun ini, fasilitas rescheduling utang -- selama ini diwadahi forum Paris Club -- sudah tak bisa kita nikmati lagi. Maklum, karena peran Paris Club memang dipayungi oleh IMF.

Namun bukan berarti peluang bagi kita menikmati rescheduling utang ini lantas sudah tertutup sama sekali. Kalangan ekonom maupun beberapa fraksi di DPR mengingatkan bahwa fasilitas tersebut masih mungkin bisa kita raih melalui mekanisme bilateral berupa government to government (G to G).

Tetapi kita menangkap kesan bahwa pemerintah tak memiliki cukup keberanian untuk itu. Seperti kata Menkeu Boediono, meminta rescheduling utang pada para kreditur sungguh riskan. Kalangan kreditur, ujarnya, bisa beranggapan atau menilai bahwa Indonesia mengemplang utang. Itu, pada gilirannya, bisa sangat merepotkan kepentingan ekonomi-bisnis kita di forum internasional.

Risiko seperti itu mungkin benar bisa tertoreh. Artinya, pemerintah tidak mengada-ada sekadar untuk menutupi keengganan atau keberanian meminta rescheduling utang pada para donor.

Kita juga layak ragu bahwa soal risiko berkaitan dengan permintaan mengenai rescheduling utang itu adalah demikian pasti seperti perhitungan matematis bahwa tiga kali tiga adalah sembilan. Melihat sejumlah kasus yang pernah ditunjukkan sejumlah negara, jangankan sekadar meminta rescheduling, bahkan minta pengurangan pokok utang (hair cut) pun bukan sesuatu yang najis dilakukan -- dan terbukti tak berisiko. Jerman pasca Perang Dunia II dulu, misalnya, bisa menikmati hair cut utang sebesar 50 persen tanpa membuat para kreditur menilai negara tersebut mengemplang utang hingga harus ramai-ramai dijauhi atau diisolasi dalam konteks pergaulan ekonomi dunia.

Karena itu, jangan-jangan soal reaksi negatif para kreditur jika kita meminta rescheduling utang ini lebih merupakan ketakutan yang kita reka-reka sendiri. Atau jangan-jangan pula itu lebih mencerminkan keengganan atau ketidaksanggupan kita bernegosiasi.

Kita khawatir sekaligus prihatin jika kemungkinan itu yang terjadi. Semata karena ketidaksanggupan kita menegosiasikan soal urgensi rescheduling utang saat ini, alokasi anggaran pengeluaran dalam RAPBN yang memiliki banyak dampak ekonomi bagi rakyat banyak lantas terus dicekik.***
Jakarta, 26 Agustus 2003

Tidak ada komentar: