22 Agustus 2003

Kepatuhan Wajib Pajak

Optimisme Dirjen Pajak Hadi Purnomo -- bahwa target penerimaan pajak pada RAPBN 2004 senilai Rp 271 triliun bisa dicapai -- patut kita puji. Optimisme ini jelas menunjukkan rasa percaya diri: bahwa sektor pajak kian bisa diandalkan sebagai sumber utama penerimaan negara.

Selama tiga tahun terakhir, penerimaan sektor pajak selalu mengalami kenaikan. Seperti tertuang dalam pidato kenegaraan Presiden Megawati tentang RAPBN 2004 di hadapan anggota DPR pada 15 Agustus lalu, tahun 2001 peran penerimaan sektor pajak terhadap pendapatan negara mencapai 61,6 persen. Kemudian tahun lalu meningkat menjadi 70 persen, dan tahun ini ditargetkan bahwa sebesar 75,6 persen penerimaan negara berasal dari pendapatan pajak dan hibah.

Mungkin kecenderungan itu pula yang membuat Hadi begitu yakin bahwa target penerimaan pajak dalam RAPBN 2004 ini bisa dicapai. Dia sendiri menyebutkan, keyakinan tersebut berpijak pada kenyataan bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak kian membaik. Justru itu, dalam rangka mengejar target penerimaan pajak pada RAPBN 2004 itu, Hadi mengaku tak akan menaikkan tarif pajak ataupun memperluas obyek pajak.

Terus-terang, di tengah situasi ekonomi nasional yang tetap sulit, keyakinan Hadi tadi terasa heroik dan seolah tanpa beban. Ada kesan, target kenaikan penerimaan pajak dalam RAPBN 2004 ini bisa begitu gampang dicapai. Padahal situasi dan kondisi tahun depan mungkin tak terlampau kondusif. Paling tidak, tahun depan berlangsung pesta demokrasi -- Pemilu 2004 -- yang sedikit atau banyak pasti memberi riak terhadap percaturan ekonomi nasional. Belum lagi soal kepatuhan wajib pajak juga masih terasa mengundang tanya.

Idealnya, memang, penerimaan negara bertumpu pada sektor pajak. Itu bukan sekadar menjadi wahana partisipasi rakyat dalam membiayai penyelenggaraan dan pembangunan negara, melainkan juga bisa memberi tolok ukur mengenai kegiatan ekonomi masyarakat. Makin tinggi kegiatan ekonomi, penerimaan pajak pun tinggi. Sebaliknya, kegiatan ekonomi lesu pasti berdampak negatif terhadap penerimaan pajak.

Tapi dalam kenyataan, itu tak selalu terbukti. Kegiatan ekonomi tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat penerimaan pajak. Itu pula yang kita alami hingga saat ini. Tengok saja tax ratio kita. Dalam RAPBN 2004, tax ratio ini hanya 13,4 persen. Angka tersebut relatif rendah dibanding di negara-negara lain.

Lalu, meski masih belum pulih benar setelah sekian lama didera krisis, kegiatan ekonomi kita seharusnya bisa membuat angka tax ratio jauh di atas target RAPBN 2004. Bahkan Hadi sendiri sempat menyebutkan bahwa tax ratio kita sebenarnya bisa saja mencapai minimal 20-an persen.

Justru itu, rendahnya angka tax ratio merupakan petunjuk bahwa banyak kegiatan ekonomi kita yang belum atau tak optimal tersentuh pajak. Tentang ini, Hadi menyebut salah satu sebab: akses terhadap pengenaan pajak relatif terbatas. Justru itu, dia yakin bahwa kalau saja akses bagi pengenaan pajak ini lebih terbuka lebar, tax ratio kita pun bisa lebih tinggi.

Boleh jadi, rendahnya angka tax ratio lebih karena pemerintah sendiri tak yakin benar mengenai kepatuhan wajib pajak -- di samping mungkin karena sadar bahwa perkembangan ekonomi pada tahun depan tak terlampau kondusif bagi pemungutan pajak. Karena itu, bagaimana mungkin kepatuhan wajib pajak menjadi tumpuan keyakinan bahwa target kenaikan penerimaan pajak dalam RAPBN 2004 bisa gampang dicapai?

Dengan kata lain, kita ragu bahwa kepatuhan wajib pajak bisa menjadi andalan terhadap pencapaian target penerimaan pajak. Bagaimanapun, wajib pajak cenderung selalu mencari celah agar bisa terhindar dari kewajiban membayar pajak. Bahkan mereka yang terancam terkena sanksi sandera badan (gidzeling) saja -- karena jelas-jelas selama ini tergolong tak kooperatif -- masih saja berupaya agar kewajiban mereka membayar pajak itu dibuat ringan. Mereka, antara lain, minta agar pelunasan kewajiban pajak bisa dicicil.

Jadi, agak musykil menjadikan kepatuhan wajib pajak sebagai andalan pemerintah dalam mengejar target penerimaan pajak dalam RAPBN 2004 ini. Terlebih lagi jika memperhitungkan ihwal oknum aparat pajak sendiri yang bisa diajak "main mata" olah wajib pajak yang tak beritikad baik.

Karena itu, yang harus dilakukan pemerintah dalam rangka menguber target penerimaan pajak ini adalah langkah terobosan yang mengondisikan wajib pajak benar-benar patuh melunasi kewajiban, di samping basis wajib pajak sendiri jadi terentang luas.

Itu sebenarnya masalah klasik. Tapi, sebenarnya, itu justru menjadi klasik karena tak kunjung bisa gamblang terjabarkan dalam kebijakan-kebijakan.***
Jakarta, 22 Agustus 2003

Tidak ada komentar: