08 Agustus 2003

Dampak Tragedi Marriott

Dampak aksi pemboman Hotel JW Marriott di Jakarta terhadap pasar modal dan pasar uang ternyata hanya berlangsung sesaat. Reaksi negatif pasar segera beranjak pulih. Indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ), misalnya, Rabu lalu -- selang sehari setelah tragedi bom Marriott -- sudah menunjukkan tanda pemulihan (rebound). Jika di hari kejadian (Selasa) ditutup turun 15,413 (3 persen) di posisi 488,529 akibat aksi panic selling, Rabu lalu IHSG ini terangkat lagi 5,907 ke level 494,436.

Begitu juga rupiah. Setelah terhempas ke posisi Rp 8.650 per dolar AS pada penutupan perdagangan saat terjadi pemboman Hotel Marriott, Rabu lalu nilai tukar rupiah mulai menguat lagi ke posisi Rp 8.600 per dolar. Kemarin, penguatan kurs rupiah ini kembali tertoreh: ditutup terangkat 12 poin pada level Rp 8.588 per dolar AS. Sementara rebound di pasar modal, kemarin lebih mengesankan lagi hingga mampu mengantarkan IHSG menguat signifikan 13,834 ke posisi 508,270.

Itu sungguh melegakan: pertanda tragedi pemboman Hotel Marriott tak serta-merta melunturkan kepercayaan pasar terhadap ekonomi nasional, khususnya di pasar modal dan pasar uang. Bahwa pasar sempat dilanda kepanikan -- hingga pada hari kejadian ledakan bom, IHSG BEJ maupun kurs rupiah terhempas --, itu amat wajar. Di mana pun, reaksi spontan seperti itu pasti tak bisa dihindari.

Boleh jadi, pasar tak larut dalam kepanikan karena sudah mulai "terbiasa" menghadapi kenyataan serupa di Indonesia ini. Kita tahu, sebelum tragedi di Hotel Marriott ini, sejumlah bom sudah berledakan di sejumlah tempat -- termasuk ledakan bom di Denpasar (Bali) pada 12 Oktober tahun lalu, yang demikian dahsyat dan menelan korban begitu banyak. Rangkaian aksi terorisme itu tanpa sadar mungkin telah membuat pasar tak terlampau sensitif lagi.

Dalam konteks itu, reaksi panik mereka hanya berlangsung sesaat. Setelah itu, pasar seperti segera melupakan apa yang terjadi dan cepat kembali kepada dinamikanya sendiri.

Aksi terorisme kini bukan melulu marak melanda negeri kita. Terorisme sudah menjadi fenomena global. Di mana saja -- tak terkecuali di negara yang dikenal memiliki sistem keamanan dan pengamanan canggih seperti AS sekalipun -- aksi terorisme bisa tertoreh. Setiap saat, aksi terorisme bisa mendadak terjadi. Jadi, tragedi pemboman seperti di Hotel Marriott -- memimjam slogan sebuah produk minuman ringan --
bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan menelan korban siapa saja.

Barangkali kesadaran seperti itu pula yang membuat pelaku pasar modal dan pasar uang tak larut dalam kepanikan terkait dengan aksi pemboman di Hotel Marriott Jakarta ini. Beberapa saat setelah tragedi itu berlalu, mereka seperti langsung terjaga: bahwa kegiatan harus segera bergulir kembali secara normal dan wajar. The show must go on! Terlebih lagi, mereka juga melihat bahwa pemerintah dan aparat keamanan kita sudah cukup memperlihatkan keseriusan dalam menangani aksi-aksi terorisme ini.

Karena itu pula, keyakinan kalangan pejabat pemerintah -- bahwa nasib ekonomi nasional tak akan mendadak amburadul akibat tertekan dampak pemboman Hotel Marriott -- terasa tidak berlebihan. Melihat reaksi pasar yang hanya sesaat menunjukkan kepanikan, tampaknya ekonomi nasional memang tetap aman.

Besaran-besaran target ekonomi makro dalam APBN 2003 mungkin bisa diharapkan tak berubah. Rata-rata nilai tukar rupiah, misalnya, tak bakal melampaui asumsi APBN 2003 sebesar Rp 9.000 per dolar. Begitu juga tingkat rata-rata inflasi bisa tetap terjaga tak sampai mencapai dua digit sesuai target APBN 2003 sebesar 9 persen.

Tetapi patut juga kita sadari bahwa reaksi pasar atas tragedi pemboman Hotel Marriott ini belum tentu sejalan dengan arah investasi langsung. Berbeda dengan pemain pasar uang dan pasar modal, reaksi atau sikap negatif kalangan pemilik modal untuk proyek-proyek investasi langsung justru mungkin malah berkarat. Maklum karena investasi langsung tak bisa ditarik atau dipindahkan segampang investasi dalam fortofolio di pasar modal dan pasar uang. Dengan kata lain, risiko yang melekat pada investasi langsung amat sulit bisa spontan disikapi.

Justru itu, boleh jadi, tragedi pemboman Hotel Marriott membuat calon-calon investor kian enggan menanam modal di sini. Kita katakan kian enggan, karena memang selama ini mereka sudah ogah-ogahan menabur modal di negeri kita -- antara lain karena alasan keamanan.

Dalam konteks itu, bagi calon-calon investor, menanam modal di Indonesia jauh lebih berisiko dibanding di negara-negara tetangga kita seperti Malaysia, Thailand, atau Vietnam. Itu berarti, tren penanaman modal langsung di negeri kita pascatragedi pemboman Hotel Marriott ini sungguh buram. Karena itu pula, pertumbuhan ekonomi amat mungkin terhambat.
Konsekuensinya jelas: masalah pengangguran jadi semakin serius. Tindak kriminalitas pun kian menjadi-jadi.

Walhasil, pemerintah amat perlu segera melakukan terobosan. Paket kebijakan yang konon sedang disiapkan sungguh harus benar-benar mampu menjadi stimulus kegiatan investasi.***
Jakarta, 08 Agustus 2003

Tidak ada komentar: