29 Agustus 2005

Solusi Masalah Energi, Seriuskah?

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memaparkan sejumlah solusi mendasar untuk mengatasi masalah energi, khususnya terkait dengan bahan bakar minyak (BBM), yang sangat berpengaruh terhadap ekonomi nasional. Baiklah kita beberkan di sini solusi-solusi itu.

Pertama, produksi minyak di dalam negeri harus bisa ditingkatkan. Kenyataan selama ini, produksi minyak nasional justru cenderung turun. Padahal, seiring laju pertumbuhan penduduk, konsumsi minyak di dalam negeri, naik terus.

Kedua, jumlah kilang pengolah minyak mentah menjadi BBM harus ditingkatkan. Dengan demikian, impor BBM bisa diturunkan. Paling tidak, itu bermakna menghemat devisa.

Ketiga, kuota konsumsi dan patokan harga minyak harus dihitung lebih akurat. Belakangan ini, kuota konsumsi maupun patokan harga minyak tidak lagi mencerminkan kenyataan di lapangan. Ini, di samping menyulitkan anggaran, juga mengacaukan ekonomi nasional.

Keempat, diversifikasi energi harus digalakkan. Dengan itu, tingkat pemakaian BBM bisa turun atau minimal ditekan.
Kelima, menggalakkan gerakan hemat energi -- karena selama ini konsumsi kita cenderung boros.

Keenam, penindakan hukum (law enforcement) harus ditegakkan terhadap tindak penyendupan BBM ke luar negeri. Terakhir, ketujuh, harga BBM di dalam negeri harus dihitung ulang agar subsidi yang harus dialokasikan tak terlampau membebani APBN.

Kita setuju seratus persen terhadap poin-poin yang harus dilakukan dalam rangka mengatasi masalah BBM ini. Kita setuju, karena memang itulah faktor-faktor yang telah membuat masalah BBM di dalam negeri sekarang ini menjadi begitu krusial.

Masalah BBM bukan lagi hanya berupa kelangkaan pasokan di lapangan, melainkan sudah mampu memberi imbas signifikan terhadap kurs mata uang kita -- dan karena itu berdampak mengguncang stabilitas moneter maupun ekonomi nasional secara keseluruhan.

Sebenarnya, poin-poin yang dibeberkan Presiden itu bukan perkara baru. Artinya, tanpa dipaparkan Presiden pun kita memang sudah tahu masalah yang menghinggapi perminyakan di dalam negeri ini. Bahkan langkah operasional yang perlu dilakukan guna mengatasi masalah itu sudah pula kita ketahui. Toh kalangan pengamat dan pakar sudah sering berbicara tentang itu -- entah di forum diskusi, seminar, talk show di televisi, kolom di surat-surat kabar, ataupun sekadar pemberitaan di media massa.

Soal produksi minyak yang cenderung menurun, misalnya, konon itu antara lain karena UU Migas tak cukup memberi insentif terhadap kegiatan di hulu. Ditambah iklim investasi secara keseluruhan yang dikeluhkan belum benar-benar kondusif, kalangan investor pun cenderung enggan terjun melakukan kegiatan eksplorasi. Padahal kegiatan tersebut membutuhkan biaya sangat mahal dan sarat risiko. Karena itu, revisi UU Migas pun disebut-sebut layak dipertimbangkan.

Begitu juga mengenai soal konsumsi minyak yang terus meningkat signifikan, kalangan pengamat dan pakar sudah sejak lama mengingatkan pemerintah agar mengembangkan mekanisme insentif dan disinsentif. Soal itu, secara makro, antara lain merujuk pada pembenahan sistem transportasi nasional.

Tetapi pilihan-pilihan langkah yang bertautan dengan penanganan masalah energi nasional ini sering tidak jalan. Jangankan itu sekadar berupa masukan atau saran masyarakat, bahkan langkah pilihan yang sudah dirumuskan pemerintah sebagai program nasional pun acapkali mandul. Ya, karena di lapangan program itu tidak dilaksanakan sungguh-sungguh.
Program diversifikasi energi, misalnya, akhirnya hanya elok sebagai konsep. Kita masih ingat, pemasyarakatan penggunaan briket batubara sama sekali tak berbekas karena pemerintah sendiri tak konsisten: antara lain pasokan briket tak pernah terjamin lancar.

Karena itu, solusi untuk mengatasi masalah energi ini sebenarnya sederhana: keseriusan pemerintah. Selama pemerintah tidak bersungguh-sungguh, konsep atau strategi apa pun niscaya percuma saja. Justru itu, solusi yang dipaparkan Presiden pun bisa-bisa berlalu begitu saja bersama angin.***
Jakarta, 29 Agustus 2005

Tidak ada komentar: