08 Agustus 2005

Kenaikan Ditepiskan, Kenapa?

Panitia Anggaran DPR mengisyaratkan kemungkinan membendung rencana pemerintah menaikkan lagi harga bahan bakar minyak (BBM) dalam waktu dekat ini. Isyarat tersebut dilontarkan pimpinan Panitia Anggaran dengan menyatakan bahwa pihaknya akan menyetujui berapa pun tambahan subsidi BBM yang dibutuhkan dalam APBN 2005.

Walhasil, jelas bahwa Panitia Anggaran DPR tak merestui harga BBM dinaikkan lagi. Dengan memberi komitmen menyetujui tambahan anggaran yang dibutuhkan, DPR praktis membuat pemerintah tak lagi memiliki alasan untuk menaikkan harga BBM.

Bagi pemerintah, memang, alternatif paling mungkin ditempuh -- sebagai jawaban atas melambungnya harga minyak mentah di pasar internasional sekarang ini -- hanya dua: harga BBM dinaikkan atau subsidi BBM ditambah. Maklum karena kenaikan harga minyak dunia ini sudah terbilang abnormal.

Untuk saat sekarang saja, harga minyak sudah menyentuh level 62 dolar AS per barel. Itu jauh di atas asumsi APBNP 2005 sebesar 45 dolar per barel. Padahal kalangan analis memperkirakan bahwa harga minyak dunia masih mungkin terus membumbung hingga menembus level 70 dolar AS per barel pada akhir tahun ini.

Pemerintah sendiri, menghadapi kenyataan itu, tampaknya condong memilih alternatif pertama: menaikkan harga BBM. Itu berarti, alokasi subsidi BBM dalam APBN tidak berubah: tetap
Rp 76,5 triliun.

Jika benar itu yang menjadi pilihan, jelas pemerintah berani menanggung risiko tidak populer. Itu karena kenaikan harga BBM belum terlalu lama dilakukan. Baru enam bulan lalu kebijakan tentang itu digariskan. Karena itu, jika dalam waktu dekat ini harga BBM kembali dinaikkan, tindakan tersebut niscaya membuat pemerintah bisa dianggap sebagai "kelewatan".

Keputusan menaikkan harga BBM memang selalu mengundang reaksi negatif berbagai kalangan. Maklum, memang, karena kenaikan harga BBM serta-merta berdampak menurunkan daya beli masyarakat. Karena itu, kalau hanya selang enam bulan harga BBM ini kembali dinaikkan, dampak itu bisa sangat terasa menohok masyarakat. Maklum, karena dampak kenaikan harga BBM pada Maret lalu pun belum lagi pulih. Karena itu, reaksi masyarakat pun bisa dahsyat.

Boleh jadi, itu pula yang menjadi pertimbangan Panitia Anggaran DPR menutup peluang bagi pemerintah menaikkan lagi harga BBM ini. Mereka tak menghendaki rakyat yang sudah hidup susah harus lebih susah lagi gara-gara harga BBM kembali dinaikkan.

Karena itu, sikap Panitia Anggaran memberi komitmen menyetujui berapa pun tambahan subsidi BBM yang dibutuhkan sangat simpatik. Sikap seperti itu sungguh menunjukkan kepedulian besar terhadap nasib rakyat.

Tapi soalnya, tambahan subsidi yang dibutuhkan agar harga BBM bisa dipertahankan tidak naik bukan main besar. Menurut hitung-hitungan pemerintah, kebutuhan tersebut berjumlah sekitar Rp 36,5 triliun. Itu berdasar asumsi bahwa harga minyak dunia rata-rata 60 dolar AS per barel.

Dengan tambahan Rp 36,5 triliun, berarti subsidi BBM membengkak menjadi Rp 110 triliun hingga Rp 112 triliun. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa kebijakan populis lagi-lagi terbukti amat mahal. Bayangkan, dengan total subsidi sebesar Rp 110 triliun hingga Rp 112 triliun, berarti hampir sepertiga anggaran habis tersedot untuk subsidi BBM.

Padahal berbagai studi gamblang menunjukkan bahwa subsidi BBM ini masih saja banyak turut dinikmati kelompok masyarakat menengah ke atas. Karena itu, sikap dan tekad Panitia Anggaran DPR menutup kemungkinan bagi pemerintah menaikkan harga BBM ini sungguh terasa janggal. Sikap tersebut seolah mengabaikan ketidakadilan dan kesia-siaan di balik subsidi BBM.

Mestinya alternatif menaikkan harga BBM tidak begitu saja ditepiskan. Yang penting, alternatif tersebut terjamin membuat APBN sehat tanpa membuat rakyat kecil semakin menderita.***
Jakarta, 8 Agustus 2005

Tidak ada komentar: