10 Agustus 2005

Mimpi Buruk

Setelah April lalu, bank sentral AS (Federal Reserve) Rabu WIB ini hampir pasti menaikkan lagi tingkat suku bunga sebesar 0,25 basis poin menjadi 3,50 persen. Ini disebut-sebut sebagai langkah penyesuaian terhadap harga minyak mentah di pasar dunia yang terus meroket. Senin lalu saja, harga minyak ini sudah menembus level 63 dolar AS per barel.

Tapi apa pun yang menjadi latar belakang, langkah bank sentral AS ini -- seperti biasa -- sedikit banyak jelas berdampak terhadap ekonomi global. Tak terkecuali ekonomi nasional. Bahkan, bagi kita, kenaikan suku bunga bank sentral AS ini bisa menjadi mimpi buruk.

Betapa tidak, karena fundamental ekonomi kita sekarang tak bisa dibilang kokoh-kuat. Ekonomi kita sedang kelimpungan. Tengok saja kurs rupiah yang begitu sulit bisa beranjak ke level lebih baik. Atau tingkat inflasi yang cenderung menjulang.

Karena itu, kenaikan suku bunga bank sentral AS akan sangat terasa menohok kita. Ibarat pukulan mematikan, kenaikan itu boleh jadi membuat kita semakin sempoyongan dan berkunang-kunang: kurs rupiah semakin lunglai.

Implikasinya, jelas serius dan meluber ke mana-mana. Dunia usaha, misalnya, harus siap-siap menanggung risiko rugi kurs lebih besar lagi. Bahkan bagi mereka yang punya utang dalam denominasi dolar, kurs rupiah yang semakin lemah ini tentu semakin membuat puyeng.

Bagi pemerintah sendiri, dampak kenaikan suku bunga bank sentral AS ini tak kurang membuat pusing tujuh keliling. Yang sudah pasti saja, anggaran niscaya telak terpukul -- terutama karena beban utang jadi meleset jauh dibanding alokasi pembayaran.

Belum lagi impor juga semakin membengkak. Padahal dalam sejumlah kasus, impor amat sulit dihindari atau ditunda. Impor minyak mentah, misalnya, tak mungkin mendadak dihentikan. Bahkan, seperti sudah terbukti bulan lalu, sedikit telat saja impor minyak ini terbukti membuat heboh dan melahirkan gunjang-ganjing kehidupan masyarakat di dalam negeri.

Karena itu, seiring apresiasi dolar AS terhadap rupiah, impor minyak praktis menjadi beban yang kian menghimpit. Terlebih karena harga minyak sendiri kian membumbung.

Dalam kondisi seperti itu, ekspor kita justru tak banyak membantu. Kinerja ekspor nasional belum juga membaik, sehingga depresiasi rupiah pun nyaris tak membawa berkah.

Tapi kita tak selayaknya hanya meratap ataupun mengutuk-ngutuk. Mimpi buruk yang ditorehkan kenaikan bunga bank sentral AS harus kita sirnakan. Ekonomi nasional harus segera diberdayakan.

Tentu, itu hanya mungkin terwujud melalui langkah-langkah penyesuaian. Bahkan, barangkali, yang dibutuhkan bukan cuma penyesuaian, melainkan sebuah terobosan yang terbilang fundamental -- dan karena itu menuntut keberanian pengambil kebijakan. Suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI), misalnya, amat beralasan segera dinaikkan. Dengan itu, paling tidak kenaikan suku bunga bank sentral AS tidak membuat iklim investasi nasional -- portofolio ataupun investasi langsung -- jadi kehilangan daya tarik.

Contoh lain, subsidi harga bahan bakar minyak (BBM) juga beralasan semakin diciutkan. Ini bukan sekadar supaya APBN lebih sehat, melainkan terutama karena subsidi BBM -- di tengah harga minyak yang telanjur melangit -- semakin tidak masuk akal dan kehilangan relevansi. Terlebih jika mengingat bahwa subsidi BBM ini lebih banyak dinikmati kelompok sosial yang justru berkemampuan secara ekonomi.

Subsidi BBM hanya relevan dipertahankan jika benar-benar bisa jatuh ke kelompok sasaran, yakni masyarakat miskin. Tapi, soalnya, kita sulit menemukan mekanisme yang bisa menjamin subsidi efektif mencapai sasaran. Karena itu, gagasan tentang penyaluran subsidi langsung harus kian dimatangkan dan segera diimplementasikan. Jika tidak, subsidi BBM akan terus menjadi sumber yang membuat APBN tidak sehat.***
Jakarta, 10 Agustus 2005

Tidak ada komentar: