02 Agustus 2005

Kasus 15 Rekening Polisi

Ketika Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan ihwal rekening mencurigakan milik 15 anggota kepolisian kepada Kapolri, pekan lalu, kita tak terhenyak. Kita tak merasa kaget ataupun heran. Ya, karena selama ini kita memang acap menyaksikan keganjilan menyangkut gaya hidup kalangan anggota kepolisian ini.

Kita melihat, banyak anggota polisi punya gaya hidup di atas standar gaji yang mampu mereka peroleh. Seseorang yang hanya berpangkat ajun komisaris besar polisi (AKBP) -- setingkat letnan kolonel --, misalnya, mampu memiliki rumah berharga ratusan juta, atau bahkan miliaran rupiah. Itu masih ditambah pula dengan segala perlengkapan yang serba luks -- termasuk mobil mewah keluaran terbaru di garasi mereka.

Kita melihat gaya hidup seperti itu sebagai sesuatu yang ganjil: karena tak sebanding dengan gaji yang mereka peroleh. Kita yakin, jika melulu bertumpu pada gaji, seorang polisi berpangkat AKBP -- atau bahkan di atasnya -- tak mungkin bisa menikmati gaya hidup kelas atas. Apalagi jika gaya hidup mewah ini ditunjukkan oleh polisi berpangkat lebih rendah lagi.

Memang, bisa saja anggota polisi mampu bergaya hidup mewah. Tapi itu pasti bukan karena gaji mereka. Gaya hidup kelas atas itu kemungkinan karena mereka memiliki bisnis lumayan besar dan maju, atau boleh jadi berkat warisan. Di luar itu, gaya hidup mewah mereka sungguh terasa ganjil. Juga jika gaya hidup itu adalah hasil bantuan atau sumbangan seseorang atau kelompok sosial tertentu -- karena kita yakin bahwa itu tidak bersifat gratis alias bukan tanpa pamrih.

Karena itu, ketika Kepala PPATK melaporkan ihwal rekening mencurigakan milik 15 anggota polisi kepada Kapolri, kita seolah beroleh pembenaran tentang sikap kita yang menilai ganjil gaya hidup mewah kalangan anggota polisi ini.

Tapi pada saat bersamaan kita juga merasa heran: kenapa rekening mencurigakan yang dilaporkan Kepala PPATK kepada Kapolri ini hanya menyangkut 15 anggota polisi? Seperti keyakinan organ di bawah Blora Center yang dekat dengan Presiden Yudhoyono, Lumbung Informasi Rakyat (Lira), mestinya laporan Kepala PPATK ini jauh lebih banyak lagi. Tapi boleh jadi, hanya rekening 15 anggota polisi itu yang mengundang kecurigaan karena yang lain-lain "pintar" menyembunyikan keganjilan yang bisa terbaca PPATK.

PPATK sendiri jelas tidak sembarangan menaruh kecurigaan. Selaku lembaga yang bertugas mengawasi transaksi keuangan yang mencurigakan, PPATK memiliki mekanisme dan parameter tertentu. Karena itu, kecurigaan PPATK niscaya memiliki pijakan kuat: rekening mencatat transaksi keuangan tidak wajar -- terutama karena nominal uang maupun konteks transaksi tidak menunjukkan kondisi yang normal dan lazim. Soal itu tak terbantahkan karena -- sesuai Undang-undang Antipencucian Uang -- merupakan rekap pihak bank yang wajib melaporkannya kepada PPATK.

Kini, tak kurang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri yang meminta agar ihwal rekening mencurigakan milik 15 anggota polisi ini ditangani serius hingga tuntas. Ini jelas menunjukkan tekad pemerintah memberantas korupsi. Keseriusan kita menangani kasus 15 rekening mencurigakan ini niscaya menjadi poin tersendiri bagi kita dalam konteks pembangunan rezim antipencucian uang.

Jika dunia internasional, khususnya Financial Action Task Force (FATF), menilai kita tidak serius, bisa-bisa kita dimasukkan lagi sebagai negara yang tidak kooperatif dalam konteks pemberantasan tindak pencucian uang. Padahal, seperti pernah kita rasakan sendiri, status tak kooperatif sungguh tak nyaman sekaligus menyulitkan kepentingan kita di dunia internasional.

Jadi, sekali lagi, kasus 15 rekening mencurigakan ini mutlak harus ditangani serius. Antara lain kasus tersebut harus ditangani lembaga yang tidak memiliki bias dan tidak punya konflik kepentingan dengan institusi Polri maupun individu-individu pemilik rekening bersangkutan. Dengan kata lain, lembaga tersebut harus terjamin independen -- dan karena itu harus berada di luar institusi Polri.***
Jakarta, 2 Agustus 2005

Tidak ada komentar: