21 Oktober 2005

Debirokratisasi Sekadar Janji?

Membuat janji memang mudah. Tapi soal mewujudkan janji yang sudah terlontar, acapkali itu merupakan masalah pelik. Sangat tidak gampang. Sampai-sampai tak jarang janji pun cuma tinggal janji. Berjuta alasan atau dalih bisa dilekatkan untuk itu. Tidak susah. Dalih amat mudah dicari-cari. Alasan juga sangat gampang dikarang-karang.

Lalu bagimana dengan janji pemerintah yang kemarin dilontarkan Menko Perekonomian Aburizal Bakrie: ekonomi biaya tinggi yang membebani dunia usaha akan dipangkas melalui langkah debirokratisasi. Akankah janji tersebut sekadar tinggal janji?

Kalau bercermin pada kecenderungan selama ini, jujur saja kita tak begitu yakin bahwa janji itu bisa menjadi kenyataan. Ya, karena entah sudah berapa kali pemerintah -- tak hanya di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekarang ini -- telah mengakui bahwa ekonomi nasional digayuti masalah biaya tinggi. Juga entah berapa kali pemerintah gembar-gembor akan berupaya menghilangkan masalah tersebut.

Tapi, itu tadi, selalu saja pada akhirnya janji-janji itu sekadar menjadi "angin surga". Pemerintah tidak menunjukkan komitmen dan upaya kuat untuk mewujudkan janji-janji itu. Pemerintah terkesan tidak serius. Terkait masalah ekonomi biaya tinggi ini, pemerintah seperti sekadar mengobral janji. Ya, karena janji sangat mudah dilontarkan.

Jadi, terus-terang, kita skeptis oleh pernyataan Aburizal mengenai langkah debirokratisasi dalam rangka memangkas ekonomi biaya tinggi ini. Jangan-jangan pernyataan itu pun bernasib seperti yang sudah-sudah: gagal menjadi kenyataan karena pada dasarnya memang sekadar basa-basi atau cuma lips service. Pernyataan itu bukan merupakan kesadaran dan komitmen serius pemerintah secara keseluruhan.

Sebagai pengusaha nasional, Aburizal tentu paham betul mengenai komitmen pemerintah selama ini yang kurang serius dalam menangani masalah ekonomi biaya tinggi ini. Sementara Aburizal sendiri ketika masih berdiri di luar pemerintahan -- terutama saat menjabat sebagai Ketua Umum Kadin Indonesia -- tak bosan-bosan mengeluhkan sekaligus mendesak pemerintah agar bersungguh-sungguh menangani masalah itu.

Ketika belakangan menggalang dunia usaha mendeklarasikan sikap antisuap, mungkin itu wujud keprihatinan, kekesalan, atau bahkan rasa frustrasi Aburizal oleh sikap pemerintah tak tak kunjung serius mengikis ekonomi biaya tinggi ini.
Boleh jadi, perasaan-perasaan itu semakin menggumpal manakala kemudian terbukti bahwa komitmen pengusaha nasional melakukan gerakan antisuap itu seolah luntur. Boleh jadi, mereka tak berdaya dan akhirnya luruh dalam kondisi birokrasi yang telanjur serba korup.

Kini, janji memangkas ekonomi biaya tinggi ini kembali didengungkan pemerintah. Yang menarik, janji tersebut kali ini dilontarkan Aburizal. Justru itu, karena sekarang ini berdiri dalam posisi sebagai pemerintah, mestinya janji Aburizal ini bisa dijadikan pegangan. Paling tidak, kita boleh yakin oleh keinginan baik dan komitmen Aburizal tentang pengikisan ekonomi biaya tinggi ini.

Tapi soalnya, kita melihat itu baru sekadar komitmen Aburizal seorang. Janji mengikis ekonomi biaya tinggi ini belum lagi menjadi komitmen kolektif pemerintah. Kita sama sekali belum melihat kesadaran dan keinginan baik pemerintah secara keseluruhan mengenai masalah itu.

Karena itu pula, dalam menjanjikan langkah debirokratisasi ini, Aburizal pun terkesan sangat hati-hati. Dia tampaknya sadar betul bahwa mental korup di tubuh birokrasi kita telanjur menjadi budaya -- dan karena itu tak mungkin bisa dikikis dalam tempo singkat.

Itu berarti, kita tak bisa terlalu berharap bahwa ekonomi biaya tinggi bisa segera terkikis dan tak lagi membebani dunia usaha nasional. Lain soal kalau Aburizal berani mengayunkan langkah revolusioner. Tapi selama dilakukan dengan rasa kurang percaya diri, langkah debirokratisasi yang dia janjikan ini niscaya cuma jadi sekadar janji pula.***
Jakarta, 21 Oktober 2005