10 Oktober 2005

Di Balik Nafsu Besar Mudik Lebaran

Lebaran masih jauh di muka. Bahkan perjalanan Ramadhan sendiri, Minggu kemarin, baru memasuki hari kelima. Toh tiket kereta api jurusan Jakarta ke kota-kota besar di Jawa untuk pemberangkatan pada masa arus mudik -- 27 Oktober-1 November 2005 -- sudah habis dipesan calon pemudik.

Padahal harga tiket, terutama kelas nonekonomi, sudah melambung tinggi: rata-rata naik 40 persen. Bahkan di tangan calo, yang sekarang ini ternyata marak kembali, harga tiket tersebut tentu jauh lebih mahal lagi. Harga tiket KA Argo Lawu, misalnya, di tangan calo bisa mencapai hampir Rp 400.000 per lembar. Padahal resminya tiket kereta api jurusan Jakarta-Solo itu Rp 330.000 per lembar.

Bahwa tiket kereta api ini sudah habis terjual sejak jauh hari sebelum masa arus mudik tiba, itu karena pemesanan memang bisa dilakukan 30 hari di muka. Tetapi sebenarnya itu bukan faktor utama. Penjelasan atas terjual habisnya tiket kereta api jauh sebelum Lebaran ini adalah bahwa jumlah pemudik tetap tinggi. Animo pulang kampung memanfaatkan momen Lebaran tetap membludak.

Pemerintah sendiri sudah memperkirakan bahwa arus mudik Lebaran kali ini secara keseluruhan meningkat sekitar 35 persen. Karena itu, pada hari-hari mendatang ini -- dalam rangka mudik Lebaran -- stasiun pemberangkatan kereta api, terminal-terminal bus antarkota, juga terminal berbagai maskapai penerbangan di dalam negeri niscaya ramai diserbu arus pemudik.

Demikian pula jalan-jalan raya. Jika merujuk pada perkiraan pemerintah tadi, dalam musim Lebaran kali ini pun jalan-jalan raya tetap akan padat dilewati arus mudik -- entah menggunakan angkutan mobil ataupun kendaraan roda dua. Singkat kata, kesadaran -- atau bahkan mungkin nafsu -- untuk mudik pada tahun ini tetap tinggi.

Kenyataan itu terasa istimewa -- bahkan menggelitik -- jika mengingat bahwa kondisi ekonomi masyarakat kita sebenarnya sedang limbung. Terutama akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang sangat signifikan, 1 Oktober lalu, daya beli masyarakat kita sebenarnya kini melosot tajam.

Namun kondisi tersebut seolah tak berpengaruh -- bahkan memang nyaris tak tercermin -- dalam fenomena mudik Lebaran. Bukti konkret tentang itu sudah gamblang tergambar. Itu tadi: meski ongkos mudik kali ini naik berlipat, tiket kereta api telah habis terjual ketika Ramadhan sendiri belum lagi sepekan berjalan.

Bagi masyarakat kita, mudik dalam rangka Lebaran memang nyaris merupakan kebutuhan mutlak. Sepanjang masih bisa dijalani, secara fisik maupun ekonomi, banyak orang memaksakan diri pergi mudik guna merayakan Lebaran di kampung. Tetapi ketika kondisi ekonomi sedang sulit seperti sekarang ini, kecenderungan itu terasa ganjil.

Tetapi boleh jadi itu karena dorongan kesadaran untuk kembali ke fitrah. Dalam kaitan ini, kampung beserta momen Lebaran mungkin menjadi titik perlambang fitrah selaku mahluk sosial. Jadi, mudik Lebaran merupakan representasi keinginen besar atau kesadaran tinggi untuk kembali ke "titik nol" alias kondisi fitrah.

Jika benar-benar murni itu yang terjadi, tetap tingginya animo mudik Lebaran di tengah kondisi ekonomi sangat sulit kali ini bisa kita pahami. Bahkan mungkin itu positif dalam rangka memulihkan tekad dan semangat membara untuk segera bangkit -- sehingga kehidupan sosial-ekonomi yang sulit dan pahit pun bisa segera sirna.

Tetapi, terus-terang, kita khawatir bahwa nafsu mudik Lebaran yang tetap tinggi ini justru lebih mencerminkan sikap kurang memiliki sense of crisis. Kalau benar, sikap kurang peka terhadap krisis ini itu sungguh berbahaya: kita tidak akan pernah benar-benar lepas dari aneka krisis yang kini membelit kita.***
Jakarta, 10 Oktober 2005

Tidak ada komentar: