27 Oktober 2005

Di Balik Pembengkakan Defisit

Kita setuju seratus persen bahwa kegiatan pembangunan harus semakin digalakkan. Dengan itu, lapangan kerja niscaya bisa banyak tercipta.

Kita juga sepakat bahwa sekarang ini upaya ke arah itu nyaris sepenuhnya tertumpu di pundak pemerintah. Akibat kesulitan menanggung beban yang tertoreh sebagai dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 1 Oktober lalu, dunia usaha nasional sendiri -- swasta maupun BUMN -- kini sulit diharapkan mampu melakukan ekspansi. Bahkan sekadar untuk bertahan hidup (survive) saja, mereka terpaksa banyak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Karena itu tak heran jika pemerintah pun memprediksi bahwa sekitar 2 juta tenaga kerja hampir pasti menjadi korban tindak PHK pascakenaikan kenaikan harga BBM pada 1 Oktober lalu. Padahal sebelum itu pun, masalah pengangguran sudah demikian serius.

Karena itu, pemerintah amat dituntut menjadi lokomotif kegiatan pembangunan, termasuk menciptakan berbagai kegiatan yang terutama bersifat padat karya. Dengan demikian, sekian banyak orang bisa beroleh pekerjaan. Dengan itu pula, himpitan masalah sosial-ekonomi pascakenaikan harga BBM yang mendera mereka minimal sedikit berkurang.

Penciptaan lapangan kerja -- betapapun sederhananya -- sekarang ini memang kian urgen. Kita tahu, masalah pengangguran amat potensial melahirkan berbagai penyakit sosial. Kita tentu tak menghendaki penyakit sosial kian marak -- karena bukan saja kehidupan menjadi tidak nyaman dan tidak aman, melainkan terutama bisa merusakkan sendi-sendi kemasyarakatan.

Karena itu, memang, sekarang ini pemerintah dituntut menjadi lokomotif pembangunan. Bahwa untuk itu defisit anggaran negara harus diperbesar, kita bisa memaklumi. Ya, karena tambahan penerimaan tampaknya sulit bisa diperoleh. Sumber-sumber penerimaan sulit bisa digali lebih dalam -- meski sebenarnya bukan tidak mungkin.

Pemerintah sendiri mengusulkan kepada DPR bahwa defisit anggaran ini membengkak dari 0,7 persen menjadi 1,1 persen produk domestik bruto (PDB). Angka tersebut, bagi pemerintah, terbilang pantas -- paling tidak, karena masih dalam rentang yang dapat ditoleransi.

Dengan defisit anggaran yang membengkak menjadi 1,1 persen ini, belanja negara bertambah Rp 5 triliun. Itu memungkinkan APBN menjadi lebih ekspansif. Terlebih lagi pemerintah sudah memiliki cukup "amunisi" lain yang lumayan signifikan berupa hasil penghematan subsidi BBM. Walhasil, pemerintah sangat dimungkinkan menebar stimulus ekonomi -- termasuk menciptakan aneka kegiatan yang menyerap banyak tenaga kerja.

Tapi soalnya, usulan kenaikan defisit anggaran ini amat terkesan sekonyong-konyong -- dan bisa mementahkan kesepakatan sementara pemerintah dan pihak DPR. Bisa dipahami jika kalangan anggota DPR pun -- terutama di Panitia Anggaran -- sampai dibuat terkaget-kaget oleh usulan itu.

Pemerintah dan Panitia Anggaran DPR sebelumnya memang sudah tuntas membahas masalah RAPBN 2006 -- dan karena itu tinggal dibawa ke forum paripurna DPR untuk beroleh pengesahan. Rapat paripurna itu sendiri, menurut rencana, digelar Jumat besok.

Justru itu, usulan yang sekonyong-konyong tentang desifit anggaran itu amat merepotkan. Teoritis, sebelum diputuskan forum paripurna DPR, pembahasan tentang itu harus bisa tuntas dalam satu-dua. Apa mungkin?

Dalam kondisi normal, model pembahasan "super kilat" seperti itu sulit bisa tuntas. Tapi sepanjang masing-masing pihak -- terutama DPR -- memiliki good will dan political will, itu bukan sesuatu yang muyskil. Kita sendiri yakin bahwa kalangan anggota DPR memiliki kearifan untuk sedikit berpayah-payah membahas lagi soal RAPBN 2006 ini, khususnya masalah pembengkakan defisit anggaran. Kalangan anggota DPR tentu bisa memahami arti strategis dan urgensi RAPBN yang lebih ekspansif ini bagi kehidupan rakyat banyak.

Tapi soalnya, kearifan itu bisa berarti memberi toleransi terhadap sikap-tindak tak konsisten pemerintah dalam menyusun RAPBN. Kita khawatir, kearifan pihak DPR ini membuat pemerintah jadi terbiasa kerja seolah tanpa rencana dan perhitungan matang. Sikap tersebut jelas berbahaya.***
Jakarta, 27 Oktober 2005