15 Oktober 2005

Elpiji Langka, Kenapa?

Untuk kali kesekian, Pertamina mengumbar janji. Dalam rangka mengatasi kelangkaan gas elpiji sekarang ini, mereka menyatakan segera membanjiri pasar gas elpiji di dalam negeri melalui langkah impor.

Dalam kaitan itu, Pertamina mengaku sudah meneken kontrak pembelian 500 ribu ton liquid petroleum gas (LPG) dengan penjual di pasar Singapura. Menurut mereka, gas impor masuk di Indonesia pada pekan depan. Dengan itu, mereka menjanjikan bahwa pekan depan kelangkaan elpiji ini bisa berakhir. Mereka juga menjamin tak akan menaikkan harga elpiji.

Apakah janji itu akan terpenuhi? Entahlah. Yang pasti, sejak elpiji mengalami kelangkaan, menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak per 1 Oktober lalu, Pertamina sudah dua-tiga kali menyatakan janji serupa.

Tapi faktanya, janji-janji itu meleset. Elpiji tetap saja langka. Bahkan kelangkaan tersebut kian meluas hingga ke berbagai daerah.

Tentu, seperti biasa, di tengah kelangkaan itu soal harga elpiji meroket tak terkendali: mencapai Rp 70.000 hingga Rp 85.000 per tabung isi 12 kilogram. Padahal harga normal, sesuai patokan pemerintah, hanya Rp 51.000 per tabung.

Semula, Pertamina berdalih bahwa pangkal kelangkaan elpiji ini adalah kerusakan kilang di Balongan, Jabar. Justru itu, mereka menjanjikan bahwa pasokan elpiji segera lancar kembali manakala kerusakan itu sudah teratasi.

Tapi nyatanya, ketika kilang itu sudah dinyatakan normal kembali, pasokan elpiji tak serta-merta segera pulih. Bahkan kelangkaan yang semula hanya meliputi wilayah Jabar dan DKI Jakarta, belakangan justru meluas ke berbagai daerah lain di Jawa.

Dalam kondisi seperti itu, Pertamina lagi-lagi berdalih: kelangkaan elpiji masih menggejala karena kilang Cilacap sedang menjalani perbaikan. Tapi belakangan terungkap, perbaikan itu bukan sesuatu yang istimewa karena memang merupakan kegiatan rutin sesuai jadwal (turn around).

Justru itu, sebenarnya, perbaikan kilang Cilacap ini tak bisa dijadikan dalih atau pembenaran atas kelangkaan elpiji di masyarakat. Terlebih setelah kilang tersebut kembali beroperasi pun, kelangkaan itu tetap saja marak di mana-mana -- termasuk di luar Jawa.

Boleh jadi benar bahwa pangkal kelangkaan elpiji ini sebenarnya adalah pemintaan atau konsumsi yang mendadak melonjak. Ini masuk akal karena kemungkinan besar banyak warga masyarakat kini beralih menggunakan elpiji. Mereka tak lagi menggunakan minyak tanah karena harga bahan bakar tersebut sekarang lebih mahal ketimbang elpiji.

Jika benar pangkal kelangkaan elpiji ini adalah lonjakan konsumsi, berarti Pertamina telah abai. Mereka gagal mengantisipasi dampak kenaikan harga minyak tanah pada 1 Oktober lalu terhadap permintaan atau konsumsi elpiji.

Itu tak seharusnya terjadi karena kenaikan harga BBM sendiri sudah melalui wacana dan perhitungan matang. Dalam kaitan itu, kita berasumsi bahwa peralihan penggunaan minyak tanah ke elpiji pun sudah turut diperhitungkan.

Kalau begitu, kenapa Pertamina tak melakukan langkah-langkah antisipasi? Jangan-jangan kelangkaan itu sendiri adalah wujud antisipasi mereka. Ya, mungkin karena harga elpiji segera dinaikkan pula. Spekulasi tersebut beralasan. Pertama, karena nyaris setiap kali harga BBM naik, harga elpiji pun ikut-ikutan disesuaikan -- konon karena ongkos kirim jadi membengkak. Harga BBM sendiri kini sudah naik lagi. Jadi, sangat mungkin harga elpiji pun segera menyusul dinaikkan pula.

Kedua, seperti juga harga minyak, harga LPG di pasar internasional pun saat ini membubung tinggi. Harga resmi elpiji sendiri, sesuai patokan pemerintah, sekarang jauh di bawah tingkat harga LPG di pasar internasional ini.

Walhasil, secara kondisional harga elpiji tampaknya memang harus naik. Terlebih lagi selama ini elpiji tidak termasuk komoditas yang disubsidi. Karena itu, jangan terlena oleh janji bahwa harga elpiji ini tak akan dinaikkan.***
Jakarta, 15 Oktober 2005

Tidak ada komentar: