08 Juli 2005

Tarif Jalan Tol, Kenapa Naik?

Jalan tol mestinya identik dengan kenyamanan. Dibanding jalan raya biasa, jalan tol seharusnya membuat perjalanan berkendaraan lebih terjamin lancar, tanpa hambatan -- dan karena itu bisa menjamin waktu tempuh lebih cepat. Justru itu pula, jalan tol mestinya membuat perjalanan lebih nyaman.

Tapi apa yang terjadi di negeri kita, jalan tol nyaris tak memiliki keistimewaan dibanding jalan raya biasa. Jalan tol di negeri kita lebih merupakan sekadar jalan raya yang mengutip bayaran. Sementara soal jaminan bebas hambatan dan kenyamanan -- juga keamanan --, yang seharusnya melekat erat pada layanan jalan tol, nyaris cuma ilusi.

Ya, kita memang tak pernah bisa beroleh jaminan bahwa jalan tol yang akan kita lalui benar-benar lancar dan nyaman. Setiap kali kita mau memasuki jalan tol, kita jarang merasa yakin bahwa perjalanan kita tak akan mengesalkan -- karena kemacetan ternyata menghadang.

Bahwa di gerbang tol kadang kita baca informasi tentang kondisi lalu-lintas di ruas jalan tol, itu acap sulit kita jadikan pegangan. Informasi itu bahkan tak jarang malah menyesatkan atau bahkan menjebak. Ya, karena informasi itu ternyata tidak akurat atau bahkan manipulatif -- karena kenyataan di jalan tol justru lain sama sekali dengan informasi yang dipampangkan di gerbang tol.

Dalam konteks itu, makna kata-kata tampaknya memang telah dimanipulasi. Karena itu, informasi jadi melenceng dan menyesatkan. Ketika informasi menyebutkan bahwa lalu lintas di jalan tol lancar, dalam kenyataan ternyata lalu lintas itu padat merayap. Atau ketika informasi menyatakan bahwa lalu lintas di jalan tol padat merayap, ternyata itu berarti macet total!

Kita juga beroleh kesan bahwa pihak operator tak pernah peduli dengan kemacetan lalu lintas di jalan tol. Paling tidak, itu karena mereka tak pernah berupaya mengurangi kepadatan dengan menutup gerbang tol ketika kemacetan sudah benar-benar menghampar.

Sangat boleh jadi, itu karena bagi operator arus masuk kendaraan adalah satu hal, dan kemacetan di jalan tol adalah hal lain. Bagi mereka, arus masuk kendaraan ke jalan tol adalah hitungan fulus yang harus diselamatkan. Sementara soal kemacetan yang mengesalkan semata risiko yang harus rela ditanggung pengguna jalan tol.

Walhasil, dalam bahasa lugas, layanan jalan tol di negeri kita sejauh ini masih jauh dari memuaskan. Layanan jalan tol lebih banyak menorehkan ironi dan kekecewaan. Ironi, karena kekecewaan itu seharusnya tak tertoreh.

Karena itu kita sependapat dengan kalangan anggota DPR RI: bahwa rencana pemerintah menaikkan tarif jalan tol sungguh tidak patut. Bahkan sepanjang mutu layanan masih mengundang sumpah-serapah, kenaikan tarif jalan tol ini tetap tak beralasan.

Menurut rumusan perundangan, kenaikan tarif tol sekarang ini mungkin memang sudah saatnya. Tapi, jujur saja, soal kenaikan tarif ini tak bisa seperti pertandingan bola yang harus bergulir sesuai jadwal. Bagaimanapun, mutu layanan lebih terasa obyektif dijadikan pijakan tentang itu. Artinya, selama layanan jalan tol masih seperti selama ini -- tak menjamin kenyamanan --, selama itu pula kenaikan tarif sungguh terasa tidak relevan.

Justru itu, kenaikan tarif jalan tol terkesan sekadar memanjakan jajaran operator. Terlebih lagi mereka selama ini tidak dalam kondisi merugi atau terancam gulung tikar kalau tarif tak segera dinaikkan.

Mungkin kenaikan tarif baru relevan dipikirkan kalau pemerintah sudah mengevaluasi mutu layanan jalan tol ini. Evaluasi itu sendiri harus tandas menyimpulkan bahwa jalan tol sudah identik dengan kenyamanan. Jadi, kenapa tarif jalan tol harus naik sekarang?***
Jakarta, 8 Juli 2005

Tidak ada komentar: