30 Juli 2005

Langkah Berani

Pemerintah memberi isyarat pasti: harga bahan bakar minyak (BBM) segera dinaikkan. Ini jelas sangat berani. Pertama, karena harga BBM ini justru belum lama dinaikkan. Kedua, karena keputusan menaikkan harga BBM selalu menjadi tindakan tidak populer. Seperti yang sudah-sudah, banyak kalangan niscaya mengecam keputusan pemerintah menaikkan harga BBM ini -- karena membuat daya beli masyarakat semakin turun.

Tapi pemerintah tidak punya banyak pilihan. Bahkan, barangkali, menaikkan lagi harga BBM merupakan pilihan paling mungkin saat ini. Maklum, karena harga minyak dunia yang tak beringsut turun dari level 60-an dolar AS per barel. Itu jauh di atas asumsi APBN sebesar 45 dolar AS.

Kenyataan tersebut membuat subsidi BBM menjadi membengkak luar biasa: dari Rp 59 triliun yang sudah dialokasikan di APBN menjadi sekitar Rp 129 triliun. Itu sungguh tidak rasional, karena membuat sepertiga APBN praktis tersedot untuk subsidi BBM.

Tapi secara politis mungkin itu tak jadi soal jika dipenuhi -- karena rakyat secara keseluruhan tidak harus menanggung risiko penurunan daya beli. Tapi soalnya, kemampuan keuangan pemerintah sangat terbatas. Terlebih pembengkakan subsidi BBM sendiri, yang mencapai sekitar Rp 70 triliun, jelas luar biasa.

Memang, seharusnya pembengkakan subsidi BBM ini bisa ditutup oleh windfall profit harga minyak dunia. Namun sekarang ini justru windfall profit sudah amat tipis. Ya, karena produksi minyak nasional relatif rendah. Bahkan kuota kita yang disepakati APEC sendiri, sebesar 1,3 juta barel per tahun, sudah tak mampu lagi bisa dicapai. Produksi minyak kita sekarang hanya berkisar 900.000-an barel per tahun.

Padahal, di sisi lain, konsumsi BBM di dalam negeri terus meningkat signifikan. Artinya, volume minyak mentah yang bisa kita ekspor pun semakin lama semakin menipis. Karena itu, lonjakan harga minyak dunia kini tak lagi menjadi berkah yang melimpah-ruah.

Walhasil, hasil penjualan minyak dan gas (migas) pun sudah tak mencukupi lagi untuk menutup subsidi. Terlebih lagi, penerimaan hasil penjualan
migas ini harus dibagi dengan daerah-daerah penghasil migas. Ini tak bisa diabaikan karena merupakan amanat UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.

Dalam kondisi seperti itu pula, pemerintah justru harus mengimpor minyak mentah. Ini bukan semata karena tuntutan memenuhi kebutuhan konsumsi minyak di dalam negeri, melainkan juga merupakan keharusan yang digariskan UU Migas. Dalam konteks ini, Pertamina selaku agen pemerintah harus membeli minyak mentah produksi jajaran mitra bagi hasil (KPS) untuk keperluan kilang BBM di dalam negeri.

Walhasil, volume minyak yang diimpor untuk kilang-kilang BBM ini tak bisa dipandang enteng. Untuk itu, Pertamina harus membayar tunai sesuai harga pasar internasional. Padahal dalam mengimpor BBM ini Pertamina dibatasi harga BBM yang diasumsikan APBN. Nyatanya sekarang, harga yang diasumsikan APBN ini jauh di bawah harga riil di pasar dunia. Karena itu, subsidi menjadi demikian niscaya.

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, pemerintah hanya punya dua pilihan: bersikap populis dengan berpayah-payah menanggung beban subsidi, atau bersikap realistis dengan menaikkan harga BBM sebagai langkah menghindari beban lonjakan subsidi. Ternyata pemerintah memberi isyarat mengambil alternatif.

Sekali lagi, itu merupakan langkah berani. Pemerintah tampaknya siap tidak populer. Tapi soal itu kembali sebenarnya berpulang kepada sikap pemerintah sendiri. Pertama, jika intensif disosialisasi sebagai sesuatu yang secara teknis dan ekonomis tak terhindarkan, kenaikan harga BBM ini niscaya tak terlampau mengundang reaksi negatif.

Kedua, jika program kompensasi terlaksana lebih baik -- benar-benar tepat pola dan tepat sasaran --, kenaikan harga BBM tak mesti menjadi faktor yang menumbuhkan antipati publik terhadap pemerintah.***
Jakarta, 30 Juli 2005

Tidak ada komentar: