14 Juli 2005

Di Ambang Krisis Kedua?

Benarkah kita kini di ambang krisis ekonomi kedua seperti penuturan ekonom Revrisond Baswir? Jika yang dimaksud Revrisond adalah krisis ekonomi seperti tahun 1997-1998, mungkin tidak. Paling tidak untuk sementara ini, kita belum merasa yakin bahwa itu bisa terjadi dalam waktu dekat.

Kita tidak yakin bahwa kurs rupiah segera kembali tersungkur hingga ke level sangat rendah, perbankan nasional kehilangan kepercayaan nasabah maupun mitra bisnis di luar negeri, permodalan nasional habis dilarikan ke luar negeri, cadangan devisa nasional tandas terkuras, bahan kebutuhan pokok menghilang, industri bertumbangan, dan lain-lain.

Tetapi tampaknya kita memang harus siap-siap menjalani kehidupan yang semakin berat dan sulit. Kehidupan ekonomi nasional boleh jadi tidak akan menjadi lebih baik. Bahkan gambaran yang terhampar menunjukkan bahwa kehidupan ekonomi kita cenderung semakin buram.

Setelah dalam beberapa tahun terakhir mengalami pemulihan (recovery), kini prospek ekonomi kita tidak lagi menjanjikan perbaikan lebih lanjut. Kehidupan ekonomi nasional malah memperlihatkan kecenderungan berbalik arah alias mundur.

Kecenderungan itu sudah demikian gamblang. Kurs rupiah, misalnya, kini sudah terkoreksi jauh dibanding awal tahun. Level psikologis Rp 10.000 per dolar AS dalam hari-hari mendatang ini bukan tidak mungkin bisa tertembus. Serangkaian jurus pengendalian kurs yang ditebar pemerintah dan Bank Indonesia tampaknya tak cukup ampuh memperbaiki keadaan.

Sementara itu, cadangan devisa pemerintah di Bank Indonesia sudah menipis karena terus terkuras untuk keperluan intervensi kurs rupiah di pasar uang. Padahal kebutuhan akan valuta asing, khususnya dolar AS, tetap tinggi. Bahkan Pertamina, misalnya, membutuhkan dolar AS jauh lebih banyak lagi untuk mengimpor minyak dalam rangka mengamankan pasokan BBM di dalam negeri.

Harga minyak mentah di pasar internasional sendiri, yang saat ini berkisar 60 dolae AS per barel, kecil kemungkinan bisa turun lagi ke level 40-an dolar AS seperti asumsi APBNP 2005. Malah harga minyak dunia ini masih mungkin terus membumbung lebih tinggi lagi.

Kalangan dan analis perminyakan sudah memperkirakan bahwa harga minyak dunia dalam hari-hari mendatang ini bisa menyentuh level 70-80 dolar AS per barel. Itu berarti, tekanan terhadap ekonomi nasional semakin serius.

Tekanan itu antara lain terlihat pada harga aneka kebutuhan pokok yang beranjak naik. Kenaikan tersebut bahkan sudah terbilang signifikan. Sebuah perkiraan menyebutkan, harga aneka kebutuhan pokok rata-rata sudah naik 10 persen sejak kelangkaan BBM melanda.

Jadi, sulit mengatakan bahwa ekonomi nasional sekarang ini tidak menghimpit-menyesakkan. Mungkin itu bukan sepenuhnya merupakan dampak kekurangbecusan kita mengelola ekonomi. Bagaimanapun, patut kita akui, kenyataan yang menghimpit-menyesakkan itu lebih merupakan konsekuensi kehidupan ekonomi kita yang semakin terbuka ke pusaran global.

Tapi yang jadi soal, di tengah kondisi yang mencemaskan itu pemerintah masih saja memperlihatkan sikap easy going. Soal defisit anggaran, misalnya, pemerintah tetap saja mengaku yakin masih bisa dipertahankan di bawah 1 persen produk domestik bruto. Padahal subsidi BBM pasti membengkak hebat -- terlebih bila harga minyak dunia terus membumbung lebih tinggi lagi. Begitu juga soal pertumbuhan ekonomi, pemerintah tetap optimis bisa mencapai 6 persen lebih.

Dalam menghadapi kondisi kritis, pemerintah memang mesti bersikap tenang. Tapi itu tak berarti harus menafikan kenyataan seolah tidak mencemaskan. Yang kita harapkan, pemerintah jujur mengakui bahwa kehidupan ekonomi nasional semakin berat dan sulit.

Sejalan dengan itu, kita juga berharap pemerintah menunjukkan program-program terobosan yang bisa membuat kita tetap yakin bahwa krisis ekonomi kedua bisa kita hindari.***
Jakarta, 14 Juli 2005

Tidak ada komentar: