27 Juli 2005

Pembatasan Usia Mobil

Pemilikan kendaraan mobil kini tak selalu karena alasan klasik: mengangkat gengsi sosial. Terutama di lapisan masyarakat bawah, pemilikan kendaraan mobil sekarang ini lebih karena pertimbangan kenyamanan dan kepraktisan. Dengan memiliki mobil sendiri -- meski sudah lapuk dan ngos-ngosan dimakan usia --, orang bisa lebih merasa nyaman berkendaraan. Dia tidak harus ikut berjejalan di angkutan umum bak ikan pindang.

Atas dasar itu, meski secara sosial tidak menunjang, banyak orang tetap memilih mempertahankan kepemilikanan mobil tua sebagai sarana pribadi berkendaraan. Mereka tidak peduli bahwa mobil mereka -- justru karena sudah uzur -- sebenarnya bisa meruntuhkan gengsi sosial. Bagi mereka, kepraktisan lebih penting daripada sekadar soal gengsi. Yang penting, meski dengan mobil tua, mereka relatif bisa lebih leluasa, nyaman, dan aman bepergian ke mana pun.

Karena itu, rencana pemerintah membatasi usia mobil serta-merta terasa menggelitik. Meski menggunakan terminologi "kuno", yang menjadi sasaran rencana kebijakan itu boleh jadi adalah mobil tua -- bukan mobil kuno yang dikoleksi kalangan berduit. Ya, karena gagasan tentang itu berangkat dari keinginan menurunkan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dalam rangka penghematan energi.

Pemerintah sendiri belum memberi rumusan tentang batasan maksimal usia mobil ini. Padahal kita tidak yakin bahwa pembatasan usia mobil ini bisa signifikan mengurangi konsumsi BBM nasional. Terlebih, kita semua tahu bahwa tingkat pertumbuhan sektor otomotif di negeri kita terbilang tinggi. Karena itu, jangan-jangan pembatasan usia mobil ini sama sekali tak berdampak terhadap tingkat konsumsi BBM nasional.

Di sisi lain, rencana pembatasan usia mobil juga menafikan hak masyarakat lapisan bawah memiliki kendaraan mobil pribadi -- notabene dengan alasan yang amat masuk akal. Ini bisa menjadi isu sensitif karena sungguh mengusik rasa keadilan. Bayangkan, jika mobil tua tak diberi lagi hak hidup, berarti cuma orang-orang kaya yang bisa menikmati sarana kendaraan pribadi dengan segala kenyamanannya. Sementara mereka yang tak mampu memiliki mobil pribadi karena alasan kemampuan ekonomi, praktis harus rela menjadi pengguna angkutan umum yang sama sekali tak memberikan kenyamanan dan keamanan.

Sebenarnya, jika penghematan BBM yang menjadi tujuan, pembatasan usia mobil tak harus menjadi pilihan. Toh pemerintah masih bisa memanfaatkan strategi dan instrumen lain yang lebih cerdas dan tak menyakiti masyarakat lapisan bawah. Sebut saja instrumen pajak progresif bagi kendaraan bermotor berdasarkan jumlah pemilikan serta besaran daya (cc) mesin. Jadi, makin banyak pemilikan mobil, tarif pajak yang dikenakan pun makin tinggi. Itu bahkan dikombinsasikan dengan besaran daya mesin mobil.

Kita yakin, strategi seperti itu lebih bisa diandalkan mampu menekan tingkat konsumsi BBM sekaligus mendongkrak penerimaan negara dari sektor pajak. Terlebih jika subsidi BBM, khususnya bagi kendaraan pribadi, juga dihapuskan saja sekalian -- karena selama ini terbukti lebih banyak dinikmati oleh mereka yang berpenghasilan tinggi jor-joran menjadikan pemilikan sebagai lambang status dan gengsi.

Karena itu, rencana kebijakan membatasi usia mobil bukan pilihan yang cerdas. Gagasan tentang itu malah lebih memperlebar kesenjangan sosial karena berwatak diskriminatif sekaligus memarginalisasi kelompok masyarakat di lapisan bawah.

Justru itu pula, rencana pembatasan usia mobil ini harus ditentang. Lebih-lebih jika pemerintah tak menunjukkan tekad serius membenahi sistem transportasi nasional menjadi lebih nyaman dan aman, serta mudah dan murah.***
Jakarta, 27 Juli 2005

Tidak ada komentar: