21 Juli 2005

Teror Flu Burung

Flu burung bukan lagi sekadar momok. Flu burung sudah menjadi teror. Flu burung kini bukan lagi hanya membuat keder industri perunggasan. Setelah gamblang terungkap bahwa penyebab kematian warga Tangerang -- Iwan Siswara Rapei dan dua anaknya -- adalah virus azian influenza A subtipe H5N1 (H=hemagglutinin; N=neuraminidase) alias flu burung, momok flu burung seketika berubah menjadi teror yang membuat waswas berbagai kalangan.

Kita waswas karena flu burung di Indonesia ternyata sudah menyerang manusia secara ganas. Iwan Siswara dan dua anaknya adalah bukti tak terbantahkan tentang itu.

Selama ini, flu burung di Indonesia cenderung hanya menjadi momok bagi industri perunggasan. Ya, karena kita diyakinkan pemerintah dan kalangan ahli bahwa secara umum flu burung tidak menyerang manusia. Flu burung hanya menyerang ternak dan unggas.

Bahwa sejumlah kasus di luar negeri menunjukkan penyakit unggas tersebut ternyata menyerang pula manusia, kita tetap tidak waswas. Kita tetap merasa tenteram. Karena baru kasus di luar negeri, kita bahkan menganggap serangan flu burung terhadap manusia ini sebagai sekadar sebuah kemungkinan.

Kini, kemungkinan itu sudah menjadi kenyataan. Artinya, kita berisiko terserang flu burung. Mungkin itu berlebihan. Toh, menurut literatur, serangan flu burung terhadap manusia hanya dimungkinkan lewat kontak langsung dengan unggas atau kotorannya yang sudah terinfeksi virus H5N1.

Jadi, sepanjang tidak bersentuhan langsung dengan unggas ataupun kotorannya, risiko terkena flu burung ini terbilang minim.

Tapi tetap saja flu burung ini terasa menjadi teror. Terlebih kasus kematian Iwan Siswara dan dua anaknya masih menyisakan misteri. Itu menyangkut sumber atau muasal yang membuat mereka terserang flu burung. Misteri tersebut serta-merta menumbuhkan spekulasi: jangan-jangan Iwan terserang flu burung lewat kontak dengan manusia yang sudah terinfeksi virus H5N1.

Terlebih latar belakang sosial maupun kesibukan Iwan sendiri sedikit sekali memiliki kemungkinan terlibat kontak langsung dengan unggas. Jika benar begitu, jangan-jangan virus flu burung sudah bermutasi menjadi bisa menyebar dari manusia ke manusia.

Namun tanpa spekulasi seperti itu pun, penyakit flu burung tetap sudah menjadi teror. Kasus kematian Iwan telanjur menguakkan kenyataan sekaligus kesadaran kita semua bahwa penyakit flu burung di Indonesia semakin berisiko. Flu burung bukan lagi penyakit berbahaya yang hanya menyerang unggas. Flu burung sudah menjadi penyakit gawat yang bisa menyerang siapa saja.

Jelas teror itu harus bisa diredam -- karena bisa lebih berbahaya ketimbang penyakit flu burungnya sendiri. Jurus paling jitu untuk itu adalah sikap pemerintah yang harus jujur dan terbuka. Sikap menutup-nutupi kenyataan justru malah bisa menjadi lahan subur yang membuat flu burung menjadi teror yang kian mencemaskan.

Di samping itu, pemerintah sendiri bisa menjadi bahan olok-olok dan sinisme ketika apa yang ditutup-tutupi itu akhirnya terkuak juga ke tengah publik.

Di sisi lain, pemerintah juga mesti benar-benar siaga dan aktif melakukan langkah-langkah penanganan agar flu burung tidak kian menyebar luas. Langkah tersebut memang amat mahal -- terutama karena unggas yang terindikasi positif sudah terinfeksi flu burung harus dimusnahkan. Seperti beberapa tahun silam, pemusnahan unggas terinfeksi ini -- meski terbatas sekalipun -- membuat pemerintah harus mengeluarkan dana kompensasi bagi kalangan pengusaha unggas dalam jumlah tidak kecil.

Tapi itu lebih baik ketimbang tidak sama sekali. Pemusnahan unggas terinfeksi flu burung -- semahal apa pun -- bisa menjadi wujud keseriusan pemerintah menanggulangi flu burung ini. Dengan itu, pada gilirannya, flu burung bisa kita harapkan tidak lagi merupakan teror yang amat menakutkan.***
Jakarta, 21 Juli 2005

Tidak ada komentar: