04 Juli 2005

Tak Mampu Mengatasi Krisis?

Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), khususnya premium, akhirnya merebak pula di Jakarta. Ini sungguh mengundang heboh sekaligus membuat panik. Heboh, karena Jakarta adalah ibukota negara. Sebagai ibukota negara, Jakarta adalah benteng pertahanan yang amat strategis.

Jadi, jika ibukota negara saja tak terkecuali dilanda kelangkaan BBM, bagaimana kita bisa tenang bahwa kota-kota besar lain -- apalagi daerah-daerah di pelosok sana -- masih aman alias tidak mengalami masalah serupa? Juga bagaimana kita bisa yakin bahwa krisis BBM yang merebak di sejumlah daerah sejak sekitar tiga pekan terakhir ini bakal segera berakhir?

Itu pula yang membuat kita panik. Kalangkaan BBM di Jakarta ini membuat kita panik, karena kenyataan itu bisa merupakan cerminan bahwa krisis BBM yang kita hadapi sekarang ini sungguh serius. Kelangkaan tersebut bukan semata masalah keterlambatan kegiatan distribusi.

Kelangkaan itu bukan cuma soal kegiatan impor BBM agak terganggu. Juga bukan sekadar karena tingkat permintaan terus membumbung. Atau karena penyelundupan BBM ke luar negeri semakin merajalela.

Mungkin benar, kegiatan distribusi dari unit-unit Pertamina ke berbagai stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) mengalami keterlambatan -- entah karena alasan teknis ataupun nonteknis. Barangkali benar pula bahwa kegiatan impor BBM agak terganggu gara-gara pemerintah telat mengucurkan dana subsidi ke Pertamina.

Juga tidak mengada-ada bahwa kelangkaan BBM ini akibat tingkat permintaan atau tingkat konsumsi sudah mulai melampaui pasokan -- karena pemilikan kendaraan bermotor di masyarakat kita memang terus bertambah demikian pesat. Pun tidak keliru bahwa penyelundupan BBM ke luar negeri kian menggila karena disparitas harga semakin menganga dan amat menggiurkan.

Apa pun penjelasan tentang kelangkaan BBM sekarang ini, diakui ataupun tidak, kita sulit memungkiri lagi bahwa itu adalah krisis -- dan karena itu tak bisa kita hadapi dengan sikap tenang-tenang (easy going). Krisis BBM, di mana pun, sungguh mencemaskan.

Betapa tidak, karena peran BBM dalam kegiatan sosial-ekonomi telanjur sangat dominan. Justru itu, jika tak segera bisa diatasi, krisis BBM ini amat berbahaya: kehidupan ekonomi, sosial, ataupun politik bisa kacau-balau.

Dalam konteks itu, kita justru belum merasa yakin oleh langkah-langkah yang diayunkan pemerintah. Paling tidak, karena kelangkaan BBM di sejumlah daerah tak kunjung reda. Bahkan kelangkaan tersebut semakin meluas -- sampai-sampai ibukota negara pun tak terkecuali mengalami.

Karena itu, bagi pemerintah -- termasuk Pertamina selaku lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap masalah pengadaan dan pasokan BBM -- kelangkaan premium yang sudah sampai merebak ke Jakarta ini sungguh memalukan.

Kelangkaan, bagaimanapun, menunjukkan something wrong -- bukan sekadar karena impor BBM telat dilakukan, distribusi terhambat, ataupun karena tingkat konsumsi kian melangit. Kelangkaan BBM sekarang ini sekali lagi menguakkan kenyataan bahwa kita memang tidak mampu bersikap sigap menanggulangi krisis.

Dulu, ketika krisis ekonomi dan moneter menerpa, kita tak bisa segera bangkit. Dibanding negara-negara lain yang sama-sama yang mengalami nasib serupa, kita paling telat mengalami pemulihan -- dan karena itu juga kita paling babak-belur. Kini, manakala giliran krisis BBM menerpa. kita lagi-lagi menunjukkan diri tak mampu bersikap trengginas mengatasinya. Pemerintah dan Pertamina, terutama, tak menunjukkan respons spontan dan jitu.

Boleh jadi, krisis BBM sekarang ini merupakan tantangan khusus bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang baru saja diumumkan memperoleh predikat Indonesia's Crisis Manager dari majalah Business Week. Yudhoyono ditantang untuk membuktikan bahwa predikat tersebut tidak salah alamat!***
Jakarta, 4 Juli 2005

Tidak ada komentar: