29 Juni 2005

Dirut Pertamina dan Krisis BBM

Penggantian orang nomor satu di Pertamina jelas mengejutkan.
Pertama, jika berita tentang itu benar, karena krisis bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri belum juga tertangani. Kedua, karena Widya Purnama belum genap setahun menjabat sebagai dirut. Dia baru menduduki jabatan tersebut terhitung sejak 11 Agustus 2004.

Kita tidak tahu apakah penggantian Widya selaku Dirut Pertamina ini terkait dengan krisis BBM sekarang ini. Yang pasti, krisis itu sendiri memang terasa kian membuat miris. Di sejumlah daerah, BBM sekarang sudah menjadi barang langka.

Kalaupun masih tersedia di tempat-tempat tertentu, BBM telanjur dikuasai spekulan kagetan. Mereka menjual BBM seharga dua-tiga kali lipat dibanding harga resmi yang dipatok pemerintah.

Kenyataan itu membuat miris karena jelas berimplikasi serius terhadap berbagai kegiatan ekonomi masyarakat. Seperti di sejumlah daerah, kelangkaan BBM mulai melumpuhkan beberapa sektor ekonomi. Kalangan nelayan di Pantura Jatim, misalnya, sejak sepekan terakhir sudah tak bisa lagi melaut karena bahan bakar solar sulit mereka peroleh.

Karena itu, orang mungkin saja mengira penggantian dirut Pertamina ini erat berkaitan dengan krisis BBM. Dalam kaitan ini, mereka sendiri boleh jadi menilai Widya gagal mengamankan ketersediaan BBM di dalam negeri -- meski soal itu bukan melulu menjadi tanggung jawab Pertamina. Justru itu, bagi mereka, Widya selaku orang yang paling bertanggung jawab atas pasokan BBM ke tengah masyarakat memang layak diganti.

Widya sendiri, barangkali, sudah mengira ihwal penggantian itu. Terlebih lagi, dalam beberapa hari terakhir dia menunjukkan sikap berseberangan dengan pemerintah terkait negosiasi pengelolaan ladang migas di Blok Cepu (Jateng) antara tim perunding pemerintah dan pihak ExxonMobil. Dalam beberapa kesempatan, dia bahkan menyatakan tak akan menandatangani kesepakatan yang dihasilkan dalam perundingan itu -- konon karena dia khawatir muncul persoalan di kemudian hari.

Walhasil, penggantian orang nomor satu ini seolah begitu niscaya sebagai sesuatu yang patut dan memang perlu. Padahal belum tentu -- karena masalah krisis BBM bukan faktor yang berdiri sendiri. Bagaimanapun, krisis BBM adalah tanggung jawab pemerintah secara keseluruhan.

Justru itu, mengharapkan pengganti Widya serta-merta mampu mengatasi krisis BBM sekarang ini bisa menyesatkan. Memang, figur Dirut Pertamina pengganti Widya -- konon Martiono Hadianto -- adalah sosok yang tepat.

Martiono bukan sosok asing dalam masalah perminyakan. Paling tidak, dia segera bisa tahu tentang apa yang harus segera dilakukan. Sebagai orang yang pernah menduduki posisi Dirut Pertamina selama periode 1998-2000, Martiono jelas tidak membutuhkan lagi masa sosialisasi. Ibarat sopir, dia amat bisa diharapkan langsung tancap gas dan melakukan manuver-manuver.

Tetapi tetap saja, krisis BBM bukan masalah sederhana yang bisa diatasi semudah membalikkan tangan. Sekali lagi, masalah ketersediaan BBM di tengah masyarakat bukan faktor yang berdiri sendiri dan bukan pula melulu tanggung jawab Pertamina.

Terlebih lagi harga minyak mentah di pasar dunia kini melambung hingga menembus level baru sepanjang sejarah: 60 dolar AS lebih per barel. Sementara di sisi lain, pemerintah dan DPR telanjur bersepakat mematok asumsi harga BBM dalam APBN sebesar 45 dolar AS per barel.

Sesungguhnya, krisis BBM bisa dikatakan sebagai akumulasi persoalan kita dalam konteks pengelolaan sumber daya migas selama ini. Jujur saja, sebagai bangsa yang dikaruniai sumber daya migas yang relatif melimpah, tak semestinya kita terjebak krisis BBM. Tapi, barangkali, kita memang tak becus mengelola karunia itu.

Karena itu, penggantian Dirut Pertamina jangan diasumsikan sebagai obat yang serta-merta akan menuntaskan krisis BBM sekarang ini. Paling tidak dalam jangka menengah dan panjang, krisis BBM masih terus membayangi kita.
Jakarta, 29 Juni 2005

Tidak ada komentar: