25 Juni 2005

Pajak Progresif Kendaraan Pribadi

Pengenaan pajak progresif terhadap kendaraan pribadi sebenarnya bukan wacana baru. Pemikiran tentang itu sudah beberapa kali mengemuka, terutama terkait dengan masalah kemacetan lalu-lintas di kota-kota besar yang kian hari kian menjadi.

Tapi seiring perjalanan waktu, lambat-laun wacana tentang itu menguap begitu saja. Selalu tak ada tindak-lanjut. Di satu sisi, pengambil kebijakan sepertinya memang belum berniat menerapkan pajak progresif terhadap kendaraan pribadi ini.

Di sisi lain, masyarakat sendiri seolah telanjur toleran dan terbiasa terhadap kemacetan lalu-lintas yang nyata-nyata menjengkelkan itu. Kita tanpa sadar menganggap masalah kemacetan lalu-lintas sebagai bagian hidup keseharian. Mungkin diam-diam kita memang pasrah terhadap masalah tersebut.

Kini wacana tentang pengenaan pajak progresif terhadap kendaraan pribadi ini mengemuka kembali. Wapres Jusuf Kalla menyatakan, pemerintah sedang menimbang kemungkinan menerapkan kebijakan tersebut sebagai salah satu strategi menekan konsumsi bahan bakar minyak (BBM).

Tentu saja, wacana itu tetap relevan -- bahkan kian urgen di tengah krisis BBM di dalam negeri sekarang ini. Pengenaan pajak progresif terhadap kendaraan pribadi, memang, bisa sekaligus berfungsi menekan tingkat konsumsi BBM.

Dalam soal konsumsi BBM, mungkin kita termasuk bangsa paling boros. Ini terutama karena pemilikan kendaraan pribadi praktis tanpa kendali. Bahkan karena menunjang prestise, pemilikan kendaraan pribadi seolah menjadi insentif sosial.
Karena itu, pemilikan kendaraan pribadi tidak lagi melulu karena alasan-alasan rasional-obyektif, melainkan juga karena dorongan kebutuhan menunjukkan kelas sosial.

Maka jangan heran jika kita cenderung merasa tidak cukup jika sekadar miliki sebuah sepeda motor. Kita juga merasa perlu memiliki mobil pribadi. Bahkan tidak cukup satu buah, melainkan kita juga merasa beralasan memiliki dua, tiga, empat, atau lima buah mobil.

Jika memungkinkan, pemilikan kendaraan lebih dari satu ini bukan hanya dalam konteks satu kesatuan keluarga, melainkan untuk tiap anggota keluarga! Jadi, ayah, ibu, dan masing-masing anak -- kendati belum cukup umur sekalipun -- bisa memiliki kendaraan!

Itu pula yang membuat tingkat konsumsi BBM di negeri kita cenderung boros dan kurang produktif, di samping mengakibatkan jalan-jalan raya di berbagai kota besar selalu padat dan macet. Tentu, di lain pihak, pencemaran lingkungan pun menjadi risiko tersendiri yang semakin mencemaskan.

Karena itu, sekali lagi, pengenaan pajak progresif terhadap kendaraan pribadi menjadi relevan dan urgen. Dengan itu, kita terkondisikan tidak lagi leluasa dan tidak nyaman memiliki kendaraan pribadi secara berlebihan. Dengan kata lain, pemilikan kendaraan pribadi bisa digiring ke arah alasan-alasan yang lebih rasional dan produktif.

Mereka yang berani mengabaikan conditioning tentang pemilikan kendaraan pribadi ini, tentu, siap menanggung beban ekonomi lebih besar sesuai jumlah kendaraan yang mereka miliki. Tapi itu tak apa, karena jelas memberi manfaat nyata kepada negara berupa setoran pajak yang lebih besar.

Tapi, efektivitas pajak progresif kendaraan pribadi ini bukan tanpa prasyarat. Sepanjang sarana dan prasarana angkutan umum tidak dibenahi menjadi benar-benar nyaman, aman, dan efisien, instrumen pajak progresif ini tak akan benar-benar efektif menekan tingkat konsumsi BBM sekaligus mengurangi kamecatan lalu-lintas dan menurunkan tingkat pencemaran lingkungan.

Jadi, sebagai kebijakan, instrumen pajak progresif kendaraan pribadi tidak bisa berdiri sendiri. Tapi seberapa seriuskah pemerintah untuk menerapkan kebijakan tersebut? Jangan-jangan, setelah krisis BBM teratasi, gagasan tentang itu lantas menguap begitu saja.***
Jakarta, 25 Juni 2005

Tidak ada komentar: