08 Juni 2005

Pemberantasan Korupsi

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kemarin, mengungkapkan bahwa kelompok-kelompok tertentu berupaya menghambat atau bahkan menggagalkan langkah pemberantasan korupsi yang kini dilakukan pemerintah. Ini tidak mengagetkan, sebenarnya. Bagaimanapun, memang, tak semua orang setuju terhadap langkah tersebut.

Mereka yang langsung maupun tidak langsung terlibat korupsi, jelas tak akan mendukung langkah pemberantasan korupsi. Mereka tak akan rela hati langkah tersebut terayun mulus. Bagi mereka, langkah pemberantasan korupsi adalah ancaman atau bahaya -- dan karena itu harus dihambat atau digagalkan.

Karena itu, pernyataan Presiden Yudhoyono justru lebih terasa menggugah kesadaran tentang sesuatu yang mencemaskan ketimbang mengejutkan. Mencemaskan, karena upaya kelompok-kelompok tertentu menggagalkan pemberantasan korupsi ini bisa lebih berbahaya ketimbang tindak korupsinya sendiri. Segala macam cara niscaya ditempuh pihak-pihak yang berkepentingan agar borok mereka -- terlibat korupsi, entah langsung maupun tidak -- tak terbongkar atau tak terjamah hukum.

Kenyataan itu terasa lebih mencemaskan lagi karena kita tahu bahwa korupsi di negeri kita tidak lagi bersifat individual. Sebagaimana tercermin dalam sejumlah kasus yang mencuat ke permukaan, tindak korupsi di negeri kita ini sudah bersifat kolektif atau -- menurut istilah lain -- berjamaah.

Justru itu, resistensi atau perlawanan terhadap gerakan pemberantasan korupsi pun niscaya sungguh tak bisa dipandang remeh. Mereka yang terlibat korupsi tentu berupaya saling melindungi dan saling menyelamatkan. Solidaritas ini, pada gilirannya, jelas membuat perlawanan terhadap gerakan pemberantasan korupsi menjadi demikian sengit.

Perlawanan tersebut bahkan menjadi arus yang dahsyat dan rumit ketika kekuasaan (power) di birokrasi pemerintahan ikut dimanfaatkan. Itu pula yang melahirkan kenyataan bahwa sejauh ini relatif sedikit koruptor yang terjamah hukum. Bahkan mereka yang sudah tersentuh proses hukum pun terbukti bisa melenggang bebas dengan status bersih. Padahal korupsi di negeri kita sudah demikian merajalela.

Lalu, haruskah kita pesimis terhadap gerakan pemberantasan korupsi yang kini digencarkan pemerintahan Presiden Yudhoyono? Tidak! Gerakan pemberantasan korupsi tak boleh sampai layu di tengah jalan. Segala macam resistensi dan perlawanan justru harus membuat gerakan pemberantasan korupsi ini semakin bergelora.

Untuk itu, jelas, dibutuhkan prasyarat. Pimpinan nasional, dalam konteks ini, dituntut bersikap konsisten dan konsekuen terhadap gerakan pemberantasan korupsi ini. Segala peluang yang bisa membuat gerakan itu melemah harus ditepis sejak dini. Ironi pemerintahan Presiden Soeharto sungguh harus dijadikan pelajaran: bahwa gerakan antikorupsi akhirnya hanya menjadi mimpi karena pimpinan nasional justru terjebak oleh konflik kepentingan.

Jadi, sikap konsisten dan konsekuen dalam gerakan pemberantasan korupsi harus terus dijaga dan dipelihara. Setitik pun sikap tersebut tidak boleh pudar atau melempem. Dengan demikian, kita yakin bahwa gerakan pemberantasan korupsi bisa terus bergulir bak bola salju.

Dengan itu pula, solidaritas di kalangan koruptor niscaya bisa dibuat pudar. Bahkan keseriusan dan konsistensi gerakan pemberantasan korupsi ini bisa diharapkan melahirkan efek domino. Tengok saja pengungkapan kasus korupsi di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): sikap gigih dan lugas penyidik membuat para tersangka justru saling membeberkan keculasan mereka dalam menangguk uang haram.***
Jakarta, 8 Juni 2005

Tidak ada komentar: