15 Juni 2005

Privatisasi Sulit Dihindari?

Privatisasi BUMN sebenarnya tak harus menjadi isu sensitif -- seolah-olah sekadar merupakan penjualan aset negara, khususnya kepada asing. Privatisasi justru bisa positif: mengondisikan pengelolaan BUMN secara profesional sesuai prinsip good corporate governance.

Privatisasi memungkinkan BUMN dikelola transparan dan akuntabel. Dengan demikian, BUMN tidak lagi menjadi "sapi perahan" pihak-pihak yang memiliki akses terhadap kekuasaan.

Tetapi, memang, sekarang ini privatisasi BUMN nyaris identik dengan penjualan aset negara. Ini tidak lain karena motif utama yang melatari privatisasi ini bukan lagi mengondisikan BUMN agar dikelola transparan dan profesional. Rencana privatisasi BUMN sekarang ini tertoreh lebih karena desakan kebutuhan: menutup defisit anggaran yang telanjur menganga.

Defisit menganga, jelas, karena keuangan kita telanjur "besar pasak daripada tiang". Dalam APBN Perubahan (APBNP) 2005, pendapatan kita mencapai Rp 491,6 triliun. Sementara di sisi lain, belanja negara mencapai Rp 511,9 triliun. Maka defisit pun otomatis tertoreh. Jumlahnya Rp 20,3 triliun.
Angka itu jauh lebih besar daripada usulan pemerintah ke DPR lewat APBNP 2005 sebesar Rp 19,5 triliun. Bahkan dibanding APBN 2005 sebesar Rp 17,3 triliun, defisit APBNP 2005 ini terlihat lebih besar lagi.

Boleh jadi, nilai belanja jauh lebih besar ketimbang pendapatan memang tak terhindarkan -- meski tidak selalu berarti bermanfaat secara ekonomi. Pos belanja pegawai, misalnya, memang sulit diciutkan. Begitu pula pos pembayaran utang -- kecuali kita memang siap menanggung risiko mengemplang kewajiban membayar pinjaman.

Tetapi pos belanja lain, seperti subsidi bahan bakar minyak (BBM), amat jauh dari pengertian produktif -- dalam arti memberikan imbal balik atau manfaat ekonomi yang nyata dan signifikan kepada negara. Bagaimanapun subsidi BBM lebih banyak berfungsi sebagai katup pengaman sosial dan politik. Padahal nilai subsidi BBM ini, dalam APBNP 2005, tak bisa dibilang kecil: Rp 76,5 triliun.

Karena itu pula, defisit anggaran menjadi tak terhindarkan. Dalam kaitan ini, privatisasi BUMN pun menjadi salah satu alternatif. Tapi justru itu, privatisasi BUMN ini lantas terasosiasikan seolah sekadar penjualan aset negara. Ini bisa menjadi isu yang kian sensitif jika privatisasi dipersepsi sebagai asingisasi. Maklum, karena di masa lalu banyak BUMN yang dijual pemerintah ke investor asing.

Mungkin sentimen itu pula, antara lain, yang membuat Wapres Jusuf Kalla beberapa waktu lalu menyatakan bahwa privatisasi BUMN tak akan dilakukan. Lalu, untuk menambal defisit APBN, dividen BUMN yang menjadi bagian pemerintah menjadi alternatif. Untuk itu, jumlah dividen bagian pemerintah ini harus meningkat hingga mampu menutup defisit anggaran yang semula harus ditambal melalui privatisasi BUMN.

Tapi itu tak mudah. Kalaupun prognosis Menneg BUMN Sugiharto mengenai dividen bagian pemerintah tahun ini benar bisa mencapai Rp 11,5 triliun -- melampaui target dalam APBNP 2005 sebesar Rp 9,5 triliun -- defisit anggaran tak serta-merta tertutupi semua. Paling tidak, defisit APBN masih menganga sebesar Rp 2 triliun.

Karena itu, tampaknya, privatisasi BUMN tetap harus dilakukan. Tapi, sebetulnya, itu juga tidak masalah sepanjang privatisasi ini bukan sekadar dalam rangka menjual aset negara, melainkan terutama guna mengondisikan profesionalisme pengelolaan yang membuat BUMN sehat dan menguntungkan.
Dalam kaitan itu, investor strategis jangan dijadikan pilihan sehingga privatisasi tak dipersepsi sebagai asingisasi. Itu berarti, penawaran saham kepada publik (IPO) layak ditempuh dalam rangka privatisasi BUMN ini.***
Jakarta, 15 Juni 2005

Tidak ada komentar: