21 Juni 2005

Kelangkaan BBM, Ada Apa?

Jelas sudah, kenapa bahan bakar minyak (BBM) -- terutama premium -- di sejumlah daerah dalam beberapa hari terakhir mengalami kelangkaan. Ya, karena stok di tangan Pertamina sudah menipis. Dirut Pertamina Widya Purnama mengungkapkan, stok premium secara nasional kini hanya mencukupi kebutuhan selama 12,7 hari. Itu jauh di bawah level aman yang selama ini menjadi patokan Pertamina: 22-25 hari.

Jadi, karena stok sudah menipis, Pertamina harus pintar-pintar mengelola distribusi. Dalam kaitan ini, mereka memberlakukan mekanisme catu ke berbagai unit Pertamina di daerah. Itu, pada gilirannya, menjalar pula ke berbagai stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).

Teoritis, pengaturan catu itu dilakukan berdasar tingkat konsumsi di masing-masing daerah. Tapi, tampaknya, perhitungan tentang itu lebih banyak meleset. Atau mungkin, karena stok telanjur menipis, catu yang dikucurkan Pertamina di bawah tingkat kebutuhan masing-masing daerah.

Karena itu, yang terjadi kemudian, BBM di sejumlah daerah mengalami kelangkaan. Banyak SPBU yang terpaksa tutup karena persediaan BBM di tempat mereka sudah benar-benar tandas. Sementara sejumlah SPBU lain yang masih bisa melayani pembelian praktis diserbu masyarakat. Antrean panjang sungguh tak terhindarkan lagi.

Dulu, terutama sebelum era reformasi, kenyataan seperti itu nyaris tak pernah terjadi. Antrean panjang di berbagai SPBU biasanya hanya terjadi menjelang kenaikan harga BBM. Atau bisa juga terjadi manakala suatu daerah dilanda bencana -- entah bencana alam atau kerusuhan sosial -- yang membuat arus pasokan BBM ke daerah tersebut jadi terhambat.

Di luar itu, pasokan BBM praktis aman alias tak pernah mengalami kelangkaan. Kalaupun terjadi kelangkaan, itu paling hanya dalam hitungan 2-3 jam akibat tanki pengangkut BBM telat tiba.

Itu berarti, dulu ketersediaan BBM di tengah masyarakat lebih terkelola. Sementara sekarang ini, simpul-simpul yang menjamin kelangkaan BBM bisa dihindari tak lagi terjaga baik. Kenapa?

Jujur saja, itu merupakan merupakan konsekuensi pencabutan UU No 44/1960 tentang Pertambangan Migas dan UU No 8/1971 tentang Pertamina yang kini digantikan oleh UU No 22/2001 tentang Migas. Dengan itu, antara lain, status Pertamina bukan lagi badan usaha khusus, melainkan berubah menjadi perseroan terbatas.

Konsekuensinya, Pertamina tidak lagi bisa tampil sebagai lembaga yang gagah perkasa dan bisa selalu trengginas menghadapi masalah. Dalam segi keuangan saja, perubahan status menjadi perseroan membuat Pertamina kehilangan dana retensi dari kalangan mitra kontraktor bagi hasil (KPS). Padahal dana retensi ini, yang sekarang beralih ke lembaga lain sesuai UU No 22/2001, jelas besar: sekitar 1 miliar dolar AS per tahun. Dengan itu, Pertamina bisa memupuk dana cadangan taktis -- antara lain digunakan untuk mengimpor BBM.

Kini, Pertamina tak bisa leluasa lagi mengimpor BBM. Langkah ke arah itu amat tergantung pada kesiapan dan kesigapan pemerintah mengucurkan dana yang dibutuhkan Pertamina. Jika pemerintah tak cukup sigap -- entah karena alasan apa pun -- impor BBM oleh Pertamina praktis tersendat. Akibatnya, tentu, ketersediaan BBM di dalam negeri jadi terganggu.

Itu pula yang terjadi sekarang ini. Kegiatan impor BBM oleh Pertamina terhambat karena pemerintah telat beberapa hari mengucurkan dana ke Pertamina. Stok BBM di tangan Pertamina pun praktis menipis jauh hingga melahirkan kelangkaan di sejumlah daerah.

Kita belum tahu persis alasan pemerintah tentang keterlambatan mengucurkan dana bagi Pertamina sekarang ini. Yang pasti, ke depan ini kejadian serupa bisa kembali terulang dan terulang lagi dengan segala risiko yang membebani masyarakat.***
Jakarta, 21 Juni 2005

Tidak ada komentar: