10 Juni 2005

Batam Surga Investasi?

Batam telah menjadi contoh paling bagus tentang cara kita memperlakukan peluang. Letak strategis Batam yang begitu berdekatan dengan salah satu pusat ekonomi dunia, Singapura, mestinya membuat kawasan itu menjadi unggulan kita dalam menjaring investor.

Tapi apa yang terjadi, terutama dalam beberapa tahun terakhir, justru sebaliknya. Kalangan investor cenderung enggan -- atau paling tidak bersikap melihat dan menunggu perkembangan (wait and see) -- untuk menanam modal di Batam. Bahkan sejumlah investor yang telah menabur investasi di kawasan-kawasan industri di daerah itu memilih angkak kaki ke luar negeri.

Itu bisa terjadi akibat kepastian berinvestasi tak terjamin, menyusul penentuan Batam sebagai free trade zone (FTZ) alias kawasan perdagangan bebas yang berlarut-larut tak menentu. September tahun lalu, sebenarnya, DPR sudah menyetujui RUU Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam menjadi undang-undang. Tapi di lain pihak, pemerintah justru berkukuh menolak karena status FTZ yang dilekatkan pada Batam membuat keistimewaan fiskal lebih banyak dinikmati mereka yang bukan tergolong investor.

Perbedaan sikap dan pandangan itu terletak pada luasan FTZ Batam. DPR menginginkan kawasan perdagangan bebas itu diberlakukan meliputi seluruh Batam. Itu, bagi DPR, membuat Batam tampil lebih menggiurkan bagi investor.

Namun pemerintah berpendirian bahwa keistimewaan itu hanya mencakup beberapa kawasan saja (enclave). Ini karena pemberlakuan FTZ bagi seluruh Batam memang membuat semua warga di kawasan itu terbebas dari kewajiban membayar pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan barang mewah (PPnBM), juga bea masuk.

Tapi bila visi pemerintah yang diberlakukan, berarti pemberian insentif fiskal itu hanya meliputi tujuh kawasan perdagangan di Batam sebagaimana digariskan PP No 63/2003. Justru itu, penduduk yang tinggal di luar zona itu sama sekali tak berhak menikmati fasilitas pajak dan kepabeanan.

Tarik-menarik itu tak kunjung mencapai titik temu. Justru itu, kalangan investor jadi bimbang atau bahkan tak yakin akan kepastian berusaha di Batam ini. Tak heran jika kegiatan investasi di pulau tersebut kian hari kian menunjukkan kecenderungan mencemaskan. Itu tadi: bukan saja investasi baru enggan masuk, bahkan investasi lama pun satu demi satu hengkang ke mancanegara.

Tapi syukurlah. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera tanggap. Kecenderungan yang bukan tidak mungkin membuat Batam akhirnya bernasib seperti Sabang itu -- ditinggalkan investor -- coba dibendung.

Seperti diungkapkan Menteri Perdagangan Mari Pangestu di depan Komisi VI DPR, kemarin, status Batam sebagai daerah industri yang menurut Keppres No 28/1982 merupakan bounded zone (kawasan terbatas) segera ditingkatkan menjadi bounded zone plus dengan memberikan sejumlah insentif menarik bagi investor.

Insentif itu berupa kemudahan dan kecepatan pemeriksaan administrasi kepabeanan, juga pembebasan bea masuk dan PPN untuk bahan baku/bahan penolong yang hasil produksinya diekspor. Di samping itu, pengenaan pajak juga digariskan tidak berlaku surut.

Mungkin langkah itu memang bisa menggoda investor melirik kembali Batam sebagai alternatif penanaman modal. Tapi kalangan investor sendiri tampaknya tetap digayuti pertanyaan: apakah peningkatan status Batam menjadi bounded zone plus ini otomatis mengubur wacana tentang kawasan perdagangan bebas?

Selama pertanyaan itu tak beroleh jawaban pasti, kalangan investor boleh jadi tak serta-merta tergiur oleh status Batam sebagai bounded zone plus. Terlebih bila persiapan dan kesiapan di lapangan tak memadai, mungkin Batam tetap saja tidak menjadi surga bagi penanaman modal.***
Jakarta, 10 Juni 2005

Tidak ada komentar: